Gugatan Mantan Capres “Minus Sportivitas”?
Jelang KPU mengumumkan hasil akhir pilpres beberapa waktu yang lalu (22/7), Capres Prabowo Subianto (pada saat itu belum berstatus mantan capres) telah terlebih dahulu menolak SELURUH PROSES PILPRES 2014 (garis bawahi kata SELURUH). Bahkan, PS menyatakan bahwa beliau menarik diri (= mengundurkan diri) dari pilpres tersebut.
Artinya, sejak saat itu dan sesudah KPU menetapkan Presiden Terpilih dan Wakil Presiden Terpilih secara konstitusional, maka de facto PS sebenarnya berstatus mantan capres. Sehingga, publik dapat bertanya apakah gugatan mantan Capres PS ke Mahkamah Konstitusi dapat dimaknai sebagai sebuah manuver politik “minus sportivitas”?
Publik selama ini cukup menyadari bahwa sang mantan capres (mungkin) dapat saja bertindak tertentu secara cukup ekstrem. Gambaran umum mereka tentang profil PS menunjukkan beliau seorang yang “bernyali besar”, bahkan sekadar untuk bermanuver politik mengejutkan, semisal yang dilakukan di rumah Polonia dengan kesan “minus sportivitas” beberapa saat menjelang penetapan hasil akhir pilpres oleh KPU.
Dengan pengamatan yang jernih publik dapat memahami bahwa sang ‘big bos’ di koalisi tenda besar (saya pernah menyebutnya dengan istilah Koalisi Super-Tambun, dapat dibaca pada artikel terdahulu ) barangkali belum sepenuhnya menyerap nilai-nilai dari sebuah prinsip universal tentang sportivitas yang berlaku di manapun. Barangsiapa ingin bertanding di sebuah kompetisi apa pun, niscaya dituntut untuk tunduk dan mematuhi seluruh “aturan permainan” dalam kompetisi tersebut!
Sehingga, manakala seorang petarung sudah terlebih dahulu menarik dirinya sebelum pihak otoritas pertandingan memutuskan tentang hasil keseluruhan dari sebuah pertandingan, maka dengan sendirinya dia kehilangan peluangnya untuk memenangi pertandingan tersebut (statusnya kalah WO atau TKO)! Implikasinya, entah seberapapun perolehan angka-angka milik kedua petarung tidak akan berpengaruh lagi terhadap hasil akhir pertandingan tersebut. Apalagi sekiranya fakta menunjukkan bahwa pihak lawan justru berhasil mendulang perolehan angka-angka yang lebih baik daripada si penarik diri.
Indikasi “mental disorder”?
Seseorang yang berusaha memaksakan sebuah “versi lain” rekaannya sendiri, seyogianya tidak pernah mendaftarkan diri dalam kompetisi apa pun. Setiap langkah politik—apalagi sejenis yang berindikasi “lepas kendali” minus sportivitas—niscaya memiliki implikasi hukum, politik, dan tentu saja, berpeluang mengundang pelbagai bentuk sanksi moral-sosial. Sekali saja seseorang berani sesumbar menarik diri, dengan serta-merta dia telah kehilangan hak paling prinsipal untuk menggugat entah apa pun yang terkait kompetisi tersebut!
Terkait pelaksanaan pilpres, dengan meminjam sebuah istilah hukum, pihak sang mantan capres sebenarnya berisiko kehilangan legal standing untuk menggugat pilpres. Sehingga, rakyat hanya perlu bersabar tatkala menyaksikan bahwa demi sebuah ambisi politik, adakalanya seseorang dengan rekam jejak tidak segan bertindak disorder (akan tega juga menggunakan cara apa pun!).
Pertanyaan tentang sportivitas akan cepat menguap manakala diajukan kepada seseorang yang berindikasi mental disorder. Ajukanlah sebuah konsepsi apa pun, maka barangkali itu pun akan ditafsirkannya sesuka-suka diri sendiri.
Apa yang disebut-sebut “bukti-bukti” oleh pihak penggugat, entah sebanyak apa pun (konon 10 truk!) sebenarnya tidak dapat mengubah apa pun. Orang hanya berilusi sekiranya berharap dapat mengubah hasil akhir pilpres! Ilusi yang sama berbalut mimpi-mimpi bahwa “bukti-bukti” mereka lebih valid daripada dokumen resmi milik KPU.
Kata-kata ajaib Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) untuk berperkara di MK—sekarang ditafsirkan sesuka-suka pihak penggugat untuk disodorkan kepada MK—justru semakin menguatkan kesan tentang tingkatan kekonyolan yang benar-benar akut! Dengan mengingat bahwa mekanisme penyelenggaraan pilpres yang baru berlalu tidak dapat lepas dari pengawalan luas pihak publik, niscaya proses rekapitulasi suara di seluruh tingkatan secara berjenjang berlangsung secara sangat transparans. Nyaris tidak tersisa lagi celah sekecil apa pun untuk memanipulasi tabulasi suara tanpa diketahui oleh publik.
Hanya orang-orang yang berhalusinasi sajalah masih berpikiran bahwa mayoritas rakyat Indonesia sekarang berkonspirasi secara kolektif untuk mencurangi pihak penggugat demi memenangkan Presiden Terpilih Joko Widodo dan Wakil Presiden Terpilih Jusuf Kalla.
Tiga catatan
Tiga catatan berikut untuk menutup tulisan ini. Pertama, yang sesekali didengungkan sebagai pembelajaran politik sebenarnya lebih tepat ditujukan kepada para elite politisi tertentu. Sekarang, mayoritas rakyat justru lebih cerdas dan lebih dewasa dalam hal berpolitik dibandingkan para elite politisi koalisi tenda besar!
Kedua , pihak KPU sebagai penyelenggara pilpres 2019 ke depan harus berani secara tegas menolak entah siapa pun bakal calon, yang berindikasi kuat masih dibebani masa lalu belum pernah diselesaikan secara tuntas—semisal pernah melakukan perbuatan tercela, berkadar integritas dan kapabilitas meragukan, dan/atau berindikasi mengidap mental disorder.
Ketiga , publik kembali mengingatkan agar jajaran penegakan hukum bertindak proaktif untuk menyelesaikan secara tuntas unsur pidana pada perbuatan beberapa lembaga survei politik abal-abal terkait pilpres. Sebaiknya, pihak terkait tersebut segera mengeluarkan langkah-langkah pencekalan terhadap para penanggung jawab beberapa lembaga survei abal-abal tersebut demi penuntasan kasus mereka. Di manakah keberadaan mereka sekarang?
***
Sumber : http://ift.tt/1xCXAVT