Menggugat Peran Parpol dalam Pemilukada Bondowoso
MENGGUGAT PERAN PARPOL DALAM PEMILUKADA BONDOWOSO
Oleh : Ady Kriesna*)
Kurang dari setahun lagi, Kabupaten Bondowoso akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada). Sebagai Pemilukada kedua sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah secara langsung, ghiroh seluruh komponen politik dalam menyambut pesta demokrasi lokal ini terasa minim. Di saat yang lain gegap-gempita, marak-semarak dalam menyongsong Pemilukada daerahnya, masyarakat Bondowoso malah sebaliknya. Berbeda dengan Pemilukada 5 tahun lalu yang bergerumuh sejak 2 tahun sebelum pelaksanaanya, kali ini Bondowoso justru adem ayem.
Apakah ini berarti entitas politik Bondowoso sudah tidak lagi eforia terhadap pesta politik (lokal), ataukah masyarakat Bondowoso justru apatis terhadap momen pemilihan pemimpinnya? Inilah pertanyaan besar yang patut kita apungkan. Dua pertanyaan tersebut memang terkesan klasik-filosofis, akan tetapi tetap saja bernilai strategis-orientatif. Karena itu, komponen politik lokal harus memikirkannya. Sebab, preferensi politik akar rumput akan mempengaruhi dinamika dan masa depan perpolitakan lokal.
Elemen yang paling bertanggung jawab untuk memikirkan sekaligus menjawab pertanyaan tersebut tentu saja adalah Partai Politik (Parpol), utamanya yang memperoleh kursi di parlemen. Mengingat peran dan fungsi Parpol dalam Pemilukada sangatlah penting. Parpol adalah salah satu kendaraan utama (selain calon independen) yang dapat memberangkatkan calon pemimpin lokal. Parpol-lah yang menjadi pilot dalam mendriver narasi besar berupa aspirasi, preference dan political wisdom masyarakat. Parpol dapat merangkum, mengkonsolidir untuk selanjutnya memperjuangkan keinginan-keinginan masyarakat luas. Sehingga pada akhirnya Parpol dapat berkoalisi, baik berdasarkan kesamaan ideologis maupun kesamaan pandangan antar-partai untuk kemudian menentukan balon Bupati/Wabup yang akan di usung.
Berdasarkan nilai strategis Parpol tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Parpol-lah yang merancang arah pembangunan dan kemajuan masyarakat. Singkatnya ‘ditangan’ Parpol-lah nasib berikut masa depan seluruh tumpah darah masyarakat Bondowoso. Sayangnya, pada titik pijak inilah fungsi dan peran Parpol justru seringkali dipertanyakan. Paradoks peran Parpol ini dikarenakan seringnya Parpol membuat kesalahan-kesalahan taktis-politis yang berakibat buruk secara sistematisk bagi kemajuan masyarakat, pendidikan politik dan masa depan pembangunan. Hampir pada setiap momentum Pemilukada di berbagai daerah, Parpol acap kali melakukan kesalahan elementer dalam merancang, menggagas serta mengusung Cabup/Cawabupnya. Bahkan di Kabupaten Bondowoso sendiri pernah terjadi blunder fatal yang berakibat pada melemahnya citra partai di mata masyarakat pasca-Pemilukada.
Beberapa blunder parpol tersebut setidak–tidaknya terdiri dari pertama, berperan sebagai partai ojek. Dalam momen Pemilukada, Parpol sering kali hanya memfungsikan dirinya sebagai tukang ojek dimana Parpol dalam mengantarkan penumpangnya hanya berharap politicall commitment semata. Tanpa memandang quality, capacity dan capability, asal dapat memenuhi komitmen politik, ‘siapapun’ Cabup/Cawabupnya pasti akan didukung. Ironisnya, parpol ojek ini tidak mau tau terhadap niat penumpangnya ketika sampai di tempat tujuan. Senyampang kekuasaan dapat di raih dan komitmen politik di capai, urusan selanjutnya bukan lagi tangung jawab partai. Partai ojek sama sekali tidak memperdulikan visi dan misi yang diusung calon. Apalagi menempatkan visi dan misi tersebut sebagai common platform dan menjadi bagian dari orientasi pemenangan Pemilukada.
Sehingga, magnet (baca: daya rekat) politik antara Parpol dengan Cabup/Cawabup semata-mata hanyalah politicall commitment, bukan orientasi pembangunan apalagi ideologi perjuangan. Hubungan Parpol dengan calon-pun hanyalah bersifat politik-formal-struktural dan bukanlah idiologis-fungsional. Tak heran jika kemudian partai ojek ini melahirkan pemimpin–pemimpin yang corrupt dan abai terhadap masyarakat. Bahkan pada tataran tertentu partai ojek dapat di lupakan dan dicampakkan begitu saja oleh pemimpin terpilih.
Kedua , orientasi terhadap kekuasaan an sich. Karena peluang meraih kekuasaan eksekutif-formal hanya dapat dilakukan saat momen Pemilukada, Parpol sering kali hanya fokus pada proses serta metode memenangkan pertandingan. Bahkan, bagi sebagian partai yang menyandang status single majority, koalisi dan kolaborasi adalah barang tabu yang dapat menjadi candu bagi kekuatan politiknya di kemudian hari.
Sebaliknya, bagi Parpol kelas menengah (middle class party), orientasi terhadap kekuasaan an sich haruslah di mulai dengan berlomba–lomba menyunting figur yang acceptable tanpa mempertimbangkan track record, kualitas dan kapabilitas figur yang bersangkutan dalam menjalankan kekuasaan kelak. Tragisnya, figur–figur dengan kekuatan besar, baik massa maupun financial, adalah sasaran bidik parpol tipe an sich structural oriented ini. Akibatnya dapat di tebak. Karena lemah kapasitas dalam menjalankan pemerintahannya, pemimpin terpilih akhirnya sekedar menjadi kepanjangan tangan partai pengusung. Bahkan tidak tertutup kemungkinan terjadinya kooptasi dan pengebirian terhadap eksekutif di kemudian hari. Sehingga muncullah pemimpin boneka yang hanya mengabdi pada kepentingan elit partai dan sekaligus acuh terhadap kepentingan masyarakat luas.
*****
Memang pertarungan politik dalam Pemilukada haruslah mempertimbangkan kecenderungan-kecenderungan pilihan politik masyarakat yang sedang berkembang. Maka dari itu kandidat yang di usung haruslah mereka yang a cc eptable (dikenal dan diterima oleh masyarakat), marketable (layak jual) serta mempunyai kekuatan riil di tataran akar rumput. Dengan demikian peluang memenangkan pertarungan dengan senyuman lebih besar daripada mengalahkan musuh dengan berlumuran ‘keringat dan darah’.
Memang juga, komitmen politik adalah bagian tak terpisahkan dari koalisi dan kolaborasi. Sehingga partai pengusung dan pemimpin terpilih nantinya dapat merasa ‘sama–sama menang’. Tetapi semua itu bukan berarti harus mengabaikan tujuan pembangunan pada umumnya dan penegakan nilai–nilai demokrasi pada khususnya.
Pemilukada hanyalah media untuk mengantarkan kepentingan–kepentingan politik dalam meraih kekuasaan. Sedang kekusaan adalah sarana formal untuk memajukan dan menyejahterakan rakyat. Oleh karena itu nilai–nilai demokrasi berupa etika politik, fatsoen politik, pendidikan politik, kearifan lokal dan ketundukan pada rule of the game haruslah menjadi bagian inheren dalam menjalankan Pemilukada. Mengabaikan kemaslahatan umum hanya demi kekuasaan sama saja dengan menyiram pohon sembari mencabut akarnya.
Disamping itu orientasi pembangunan, des ig n kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat juga harus menjadi kerangka utama dalam ijtihad melahirkan pemimpin lokal. Karena itu kualitas dan kapabilitas calon Bupati/Cawabup merupakan prasyarat mutlak yang harus di jadikan bagian dari komitmen politik. Sebab hanya dengan rumus itu akan muncullah pemimpin abdi negara dan pelayan rakyat, bukan abdi elit dan pelayan kaum borjuis. Endingnya, program–program pembangunan-pun pada akhirnya akan berpihak kepada rakyat. Sehinga pemimpin yang lahir bukanlah sekedar “vox populi” (berdasarkan suara rakyat) pra-Pemilukada tetapi menjadi “vox de i ” (diridoi Tuhan) dalam menjalankan pemerintahan.
*) Penulis adalah Ketua DPD AMPI dan salah satu Presidium KAHMI Kabupaten Bondowoso
Sumber : http://ift.tt/1qwgttI