Suara Warga

Tradisi Politik Cita Rasa Indonesia

Artikel terkait : Tradisi Politik Cita Rasa Indonesia

Menyaksikan situasi pertempuran di DPR saat ini, membuat banyak orang miris. Apalagi istilah pertempuran acapkali didengungkan oleh para politisi senayan. Mengandaikan perebutan kekuasaan di gedung parlemen layaknya padang Kurusetra. Layaknya kancang peperangan. Mengubah prilaku politisi menjadi prajurit yang haus kemenangan. Menjadi ajang kompetisi untuk saling menjegal dan mengalahkan. Padahal pimpinan suatu lembaga yang beranggota banyak sejatinya bukan kontestasi. Kontestasi dalam pengertian harfiah yang berarti bertikai. Pun bukan berlomba (race) untuk mencari pemenang. Karena semua anggota memiliki kedudukan, hak dan drajat yang setara.

Lomba atau perlombaan dimungkinkan jika memang disyaratkan adanya pemenang tunggal. Seperti halnya pertandingan sepakbola yang memang harus ada pemenang. Seperti halnya pemilihan Gubernur yang memang harus ada pemenang. Seperti halnya lomba paduan suara, memang harus ada pemenang. Lomba menjadi landasan pikirnya. Sedangkan perebutan kekuasaan pimpinan lembaga yang beranggota banyak apakah disyaratkan adanya pemenang? Pimpinan DPR, pimpinan partai politik, pimpinan KPU, pimpinan Mahkamah Konstitusi tidak mensyaratkan adanya pemenang. Oleh karena itu landasan pikir lomba atau kontestasi tidak dapat dipergunakan. Karena pada akhirnya, jika menggunakan landasan pikir itu, baik pihak yang menang atau kalah tetap berada dalam wadah yang sama. Dan bekerjasama. Berbeda halnya dengan pemenang pertandingan sepakbola, Guburnur terpilih atau paduan suara, pihak pemenang tidak akan (bisa) bekerjasama dengan pihak yang kalah pasca perlombaan.

Selain daripada itu, situasi di DPR saat ini yang seolah-olah terbelah menjadi dua kubu saling hadap, menisbikan cita rasa Indonesia. Pudarnya rasa ke-Indonesia-an. Tontonan yang dipertunjukan secara vulgar seperti laiknya parlemen di India, Syria atau negara-negara Amerika Latin. Dua kubu saling hadap dan siap ‘angkat senjata’. Hilang sudah nilai ke-Indonesia-an dari pertunjukan itu. Padahal negara ini masih berdiri sampai hari ini karena adanya sifat uniq, ada tradisi tersendiri dan non textbook. Dibedah dengan pisau analisa teori baku yang ada di kitab-kitab politik tak mampu menjelaskan. Bahkan kaum Indonesianist (ilmuwan barat yang menganalisa situasi Indonesi) kerap gagal membangun hipotesisnya. Disebabkan terpaku dengan pakem teori yang diyakini. Bisa kita telisik.

Jika ada pertanyaan, apakah sistem ketatanegaraan Indonesia menganut Presidensial atau Parlemen. Sulit untuk menjawabnya. Karena quasi presidensial, tak dikenal dalam teori baku. Paling Verney yang bisa menyebutnya semi presidensial. Meskipun terjadi dua kutup pemikiran di BPUPKI dan PPKI, antara Sopoemo, Soekarno dan Soekiman melawan Hatta dan Yamin, toh pada akhirnya tercapai kesepakatan membangun “sistem tersendiri”. Kata Soepomo, Indonesia tidak menganut separation of power sebagaimana titah mbah Montesquieu. Tapi menganut distribution of power . Jikapun mbah Montesquieu bangkit dari kubur menyaksikan Indonesia saat ini dengan berdirinya Komisi-Komisi atau BPK pasti bingung dengan Trias Politica yang dilahirkannya. Harus dimasukan dikamar mana benda-benda itu? Sebab istilah state auxiliary organ tak dikenal dalam rumusan Trias Politica. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif masih bisa ikut campur dalam persetujuan undang-undang. DPR masih bisa ikut nimbrung menentukan Duta, Konsul dan Kapolri. Dan mahluk apa lagi Komisi Yudisial itu? yang bisa mengusulkan calon hakim agung. Serba uniq dan tidak baku.

Urusan unik dan tersendiri sampai masuk ke urusan keyakinan dan ideologi. Bung Karno bilang, Sosialisme Indonesia bukan sosialisme ala Rusia, bukan RRC, bukan Mesir, bukan Yugo, bukan mana-mana. Mendengar itu, Nyoto menyindir: kalau soalnya bukan sosialisme ala ini atau ala itu, jangan-jangan bukan sosialisme sama sekali. Begitu pula Nurcholis Madjid dan Abdurrahman Wahid bilang Islam ala Indonesia, bercitra rasa Indonesia, Islam with a smiling face . Melihat Islam di Indonesia dengan pakem dan kacamata Mesir atau Turki akan gagal paham.

Bisa jadi Scott Mainwaring dan Juan J Linz akan runtuh tesisnya yang bilang multipartai tidak cocok dikawinkan dengan presidensialisme. Ujung-ujungnya akan terjadi “breakdown of democratic regime ”. Abisnya dia studi cuman di Amerika Latin. Seperti di Paraguay tak abis-abisnya persetruan antara partai Liberal dengan partai Colorado. Atau seperti di Kosta Rika, pertengkaran tak berujung pangkal antara Partai Pembebasan Nasional dengan Partai Persatuan Kristen Sosial. Jika diperbandingkan di Indonesia, walaupun Presiden dari partai pemenang, isi kabinet tak menguras habis diisi oleh kader-kader partai pemernang. Dan meskipun multipartai, sistuasinya tetap aman terkendali. Kenapa? Ada tradisi politik yang terbangun sejak dari dulu. Tradisi yang menolak prinsip “the winner takes all ”, sistem sapu bersih sebagaimana diterapkan di negara-negara lain. Selalu ada jalan tengah, kompromi dan win-win solution. Ada sharing of power. Inilah ciri Indonesia, cita rasa Indonesia.

Tradisi politik yang mengedepankan kompromi dan akomodatif sudah tergambar sejak Indonesia merdeka. Dimana tokoh golongan Islam dalam sidang PPKI mau “mengalah” dengan Piagam Jakarta. UUD 1945 yang gado-gado memuat semua gagasan dari kubu individualisme dan integralistik. Bahkan selera Yamin akan Majapahit tak urung dimasukan juga. Walaupun kata Yusril, ya mau gimana lagi. Abisnya yang nyusun konstitusi itu para ahli hukum adat bukan ahli hukum tatanegara. Lebih akomodatif lagi saat BP PAH MPR melakukan amandemen. Tiba-tiba ada muncul mahluk namanya DPD. Apakah bikameral seperti Senat di Amerika? Bukan !. Selidik punya selidik rupanya hanya mengubah nama fraksi utusan daerah yang dulu jadi bagian dari MPR. Dengan menggunakan falsafah Jawa, Soepomo bilang mau wakil rakyat (partai), utusan golongan atau utusan daerah, kita semua ada dalam satu keluarga di MPR. Menyatupadu manunggaling kawulo gusti. Seperti juga sikap kompromi pada jabatan Perdana Menteri tidak selalu harus partai tertentu. Kadang PNI, kadang Masyumi, kadang PSI dan kadang non partai seperti Hatta atau Abdul Halim. Selalu ada mufakat dan menjauhkan keinginan zero sum game.

Tradisi kuat-kuatan, blok saling hadap, win-lose, oposan dan tandingan, bukanlah tradisi politik bercita rasa Indonesia. Bahwa tradisi tersebut terjadi di negara lain, itu ya. Tapi itu urusan mereka. Bukan tradisi rumah tangga Indonesia. Indonesia memiliki cita rasa sendiri yang unik. Dianggap tak lazim dalam bacaan teks buku-buku sekolahan. Tapi itulah Indonesia, yang bisa bertahan dan ada sampai hari ini. Terbangunnya tradisi politik yang mengedepankan kompromi dan akomodatif serta siap berbagi. Penyelesian konflik dengan rekonsialisasi dan membuka dialog. Tradisi cita rasa Indonesia ini sering diplesetkan dengan istilah gotong royong, permufakatan dan konsensus bersama.



Salam Kompasiana




Sumber : http://ift.tt/1qk5uQZ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz