Perdamaian DPR ala Koalisi Mental Preman
Bermula pada situasi konstelasi politik di akhir bulan Juni 2014 dimana 6 partai yang sudah bergabung dalam satu koalisi untuk mendukung Capres Prabowo merasa galau berat karena hasil survey elektabilitas Capres yang diusungnya tidak juga membaik. Hasil Survey terakhir pada akhir bulan Juni 2014 angka Elektabilitas Capres Prabowo hanya mentok di angka 47%.
Kemungkinan Kekalahan Besar telah nampak di depan mata. Ini tidak bisa dibiarkan dan ini harus diantisipasi oleh Koalisi 6 Partai ini yang didukung juga para kartel-kartel perdagangan, seperti Mafia Daging, Mafia Beras, Mafia Haji, Mafia Migas dan lainnya.
Lalu kemudian Para Pimpinan Sengkuni mulai merencanakan Antisipasi Kekalahan pada Pilpres 2014 yang akan digelar pada tanggal 9 Juli 2014. Bagaimana caranya menolak kemenangan kubu lawan atau bagaimana caranya merusak kemenangan lawan menjadi bahan diskusi para Sengkuni tersebut.
Yang jelas pada tanggal 9 Juli Sore seperti pengalaman yang sudah-sudah pasti Hasil Quick Count berbagai lembaga survey sudah merilis hasilnya sehingga sudah ketahuan siapa yang menjadi pemenang Pilpres.
Sebelumnya para Sengkuni sudah melakukan cara-cara curang untuk membendung Elektabilitas Capres Jokowi. Isyu SARA sudah ditiup-tiupkan, Tabloid-tabloid Black Campaign sudah dilakukan, memakai Konsultan Asing juga sudah, menggandeng para ulama dan para veteran militer juga sudah, tapi Elektabilitas Jokowi masih juga tak terbendung.
Antisipasi terburuk adalah Jokowi sudah pasti menang dan menjadi Presiden. Bila itu terjadi Kemenangan masih bisa direbut dengan cara menjatuhkan / meng-impeachment Jokowi. Syaratnya adalah dengan menguasai Parlemen. Bagaimana caranya?
UU MD3 yang ada yang sudah berlaku selama 15 tahun adalah Ketua DPR dan Pimpinan-pimpinan DPR selalu berdasarkan Skala Proporsional hasil suara Pemilu Legislatif. Dan Pileg kemarin dimenangkan oleh PDIP berarti PDIP yang akan memimpin DPR. Ini harus dirubah agar PDIP tidak menjadi pimpinan DPR lagi. Keputusan para Sengkuni untuk Plan A adalah Rubah UU MD3 agar Parlemen dikuasai oleh 6 Partai ini. Dan akhirnya UU MD3 yang baru pun di sahkan secara curang oleh Koalisi Mafia Politik ini sehari sebelum Pilpres digelar (8 Juli 2014).
Ketua DPR dan pimpinan DPR yang baru nanti, yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 tidak serta merta berdasarkan Hasil Suara Pemilu Legislatif melainkan Harus merupakan Hasil Usulan minimal 5 Fraksi dan dipilih secara paket. Inilah Rencana Pertama.
Selanjutnya Plan B atau Rencana Kedua adalah mengulur-ulur Kemenangan Jokowi dengan berbagai cara. Ada beberapa bagian dari Plan B ini yaitu : Langkah pertama adalah mengacaukan Hasil Quick Count berbagai lembaga survey pada tanggal 9 Juli 2014. Kita semua menjadi saksi betapa kacaunya situasi politik pada tanggal 9 Juli sore lalu. Ada 2 versi Quick Count yang dipublikasikan berbagai Stasiun TV.
Berikutnya Langkah Kedua Plan B adalah menyerang KPU dan merekayasa kecurangan KPU sehingga bisa digunakan sebagai senjata untuk menolak Hasil Rekapitulasi Suara yang diumumkan oleh KPU dan untuk selanjutnya Perselisihan Hasil Pilpres dapat dilakukan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan proses gugatan di MK, maka semua perhatian tertuju ke MK dan menanti hasil Keputusan MK. Gugatan ke MK sendiri memang Gugatan Abal-abal karena semuanya penuh rekayasa dan tidak berharap kemenangan dari hasil Putusan MK. Tapi di sisi lain ada Plan C yang dibidik, yang tidak disadari oleh Kubu Pemenang Pilpres. Plan C adalah menguasai Birokrasi-birokrasi Daerah. Caranya adalah merubah UU Pilkada Langsung. Dan selanjutnya Plan D adalah mengupayakan mencari cara/ merekayasa alasan untuk dijadikan dasar untuk meng-Impeachment Presiden.
Dan kita lihat setelah Putusan MK keluar pada akhir Agustus 2014, ternyata ketegangan suasana Pilpres tidak mereda. Koalisi Merah Putih alias Koalisi Mental Preman masih melakukan maneuver-manuver politik dan membuat situasi politik dalam negeri tetap panas membara.
Akhirnya pada bulan September terjadi lagi ketegangan politik yang diakibatkan oleh Niat Buruk KMP untuk merubah UU Pilkada Langsung. Disini terjadilah penolakan besar-besaran oleh Rakyat dan Akhirnya SBY sebagai Presiden yang berkuasa tidak mampu membela KMP lagi dan akhirnya mengeluarkan Perppu untuk membatalkan Paripurna DPR yang mensahkan UU Pilkada Tak Langsung yang Kontroversial.
Selanjutnya mendekati Pelantikan Presiden Terpilih terjadilah hal-hal yang tidak biasa. Partai-partai pendukung KMP hampir semuanya menolak untuk diajak bersama membantu pemerintah. Partai-partai Sengkuni ini menolak bila salah seorang kadernya dijadikan Menteri oleh Jokowi. Mungkin tawaran itu terlalu kecil dimana biasanya mereka kalau bergabung dengan Pemerintah selalu mendapatkan 3 menteri. Akhirnya mereka menolak niat baik Jokowi tersebut.
Mereka bukan bodoh. Mereka menolak tawaran 1 menteri itu karena ada alasannya. Plan D diataslah yang menjadi Alasannya. Mereka sudah punya senjata UU MD3 sehingga mampu menguasai dan mencengkram DPR/ MPR dengan kuat. Mereka tinggal mencari cara/ merekayasa berbagai alasan agar dapat meng-impeachment Presiden. Dan setelah Presiden tumbang maka mereka bisa menguasai Pemerintah dan dibagi rata kekuasaan yang ada. Itu untuk melengkapi juga kekuasaan yang sudah mereka miliki baik di DPR dan MPR.
PERTARUNGAN PEREBUTAN KEKUASAAN DI DPR
Selanjutnya kita semua menyaksikan berbekal UU MD3 mereka dengan Gemilang menguasai jajaran Pimpinan DPR/MPR. Bahkan UU MD3 yang sangat aneh tersebut ditolak gugatan Judicial Reviewnya oleh MK. Tidak bisa dipungkiri bahwa 2 Hakim Konstitusi tertinggi yang berada di MK berasal dari partai-partai KMP tersebut.
KoalisI Mafia Politik pun akhirnya menempatkan semua orangnya di 5 pucuk Pimpinan DPR dan 4 dari 5 pucuk Pimpinan MPR. Bayangkan saja, baru pertama kali terjadi dalam sejarah dimana PDIP sebagai Partai Pemenang Pemilu tidak mampu menempatkan satu orangpun kadernya untuk menjadi salah satu Pimpinan di DPR dan MPR. Logika mana yang mampu membenarkan hal tersebut?
Selanjutnya setelah DPR dilantik, kembali Koalisi Mental Preman ingin menguasai 11 Komisi yang ada di DPR dan Alat Kelengkapan DPR lainnya seperti Bamus, Banggar, Baleg, BURT dan BAKN. Mereka benar-benar ingin menguasai Parlemen sampai ke akar-akarnya. Terlihat Dendam Membara di Koalisi Preman karena Jokowi sudah membentuk Kabinetnya dan menentukan Menteri-menterinya maka DPR dan MPR harus menjadi milik mereka.
Selanjutnya hal ini memicu penolakan dari kubu KIH. Setelah KMP menguasai pucuk-pucuk pimpinan DPR dan MPR masa iya KMP tidak mau memberikan sedikitpun kursi pimpinan Komisi dan Alat Kelengkapan DPR? Kalau begitu keadaannya semua Pucuk-pucuk pimpinan DPR dan semua komisi di kuasai KMP, itu artinya tidak ada lagi keterwakilan rakyat yang telah memilih KIH di DPR. DPR menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang memilih KMP atau lebih tepat lagi DPR adalah Dewan Perwakilan KMP.
Akhirnya terjadi kisruh panjang di DPR. Tidak terjadi Musyawarah untuk mufakat. Tidak ada Deal untuk bersama-sama memimpin Komisi-komisi dan Alat Kelengkapan DPR. KIH meminta untuk pimpinan-pimpinan Komisi berlaku Proporsional sesuai dengan prosentase hasil Pemilu Legislatif dimana dari 11 Komisi untuk KIH 5 Ketua Komisi sedangkan untuk KMP 6 Ketua Komisi. Begitu juga dengan Wakil Ketua Komisi dimana masing-masing Wakil Ketua Komisi berjumlah 2 orang sehingga total Wakil Ketua Komisi ada 33 orang . KIH meminta 11 Wakil Ketua Komisi dan sisanya 22 untuk KMP. Total yang diminta KIH adalah 16 Kursi Pimpinan yang terdiri dari 5 Ketua Komisi dan 11 Wakil Ketua Komisi.
Tapi semua itu ditolak KMP dan KMP hanya bersedia memberikan total 6 kursi pimpinan (termasuk Ketua dan Wakil Ketua). Disitulah terjadi perdebatan alot dan keras. Tetapi kemudian berikutnya KMP dengan alasan harus segera mengejar Tugas untuk mengawal Pemerintah, KMP bahkan langsung membentuk dan mensahkan Komisi-komisi yang ada yang hanya berisi perwakilan dari KMP sendiri. 9 Komisi di sahkan dengan formasi masing-masing 1 Ketua dan 2-3 Wakil Ketua. Semuanya berasal dari KMP. Sementara 2 Komisi yaitu Komisi V dan Komisi XI dikosongkan untuk Jatah KIH.
DPR TERBELAH DUA
Ini yang kemudian memicu protes keras dari KIH dan akhirnya KIH pun mengeluarkan Mosi Tidak Percaya dan membentuk Pimpinan DPR sementara versi KIH dan komisi-komisinya. DPR pun terbelah dua selama kurang lebih 2 minggu. Masyarakat yang melihatnya pun menjadi marah dengan kondisi itu.
Tepat sebulan DPR dilantik dimana para anggota Dewan Yang Terhormat sudah menerima gaji pertamanya, DPR masih dalam kondisi kisruh. Kedua Kubu masih juga tidak tercipta perdamaian sehingga makin menuai protes dari masyarakat.
Akhirnya setelah 3 minggu berjalan dengan kondisi seperti itu kemarin sore ada kabar bahwa KMP dan KIH sudah sepakat untuk membuat perdamaian dimana KMP bersedia memberikan posisi 21 Kursi Pimpinan (terdiri dari Wakil Ketua seluruh Komisi yang ada dan Alat Kelengkapan lain seperti Baleg, Banggar, BURT dan lainnya.). Rupanya KIH sudah mengalah dan tidak ngotot menempatkan anggotanya menjadi Ketua-Ketua Komisi dan menerima menjadi Wakil-Wakil Ketua Komisi saja.
Masyarakat yang mendengar kabar kesepakatan kemarin mulai lega dan berharap DPR segera berbenah dan langsung bekerja untuk mengejar ketinggalannya dari Pemerintah dimana Presiden Jokowi dan para Menterinya sudah jauh berjalan mengejar target.
Tetapi ternyata pagi tadi ada kabar bahwa partai Nasdem dan partai Hanura menolak hasil kesepaktan KMP dan KIH hari senin kemarin yang sudah dilakukan/ diwakili Pramono Anung dan Hatta Rajasa ditemani Idrus Marham. Rupanya kesepakatan KMP memberi 21 Kursi Pimpinan Alat Kelengkapan DPR itu ada syarat khusus atau dengan catatan besar.
Dan syarat khusus itu adalah merubah kembali UU MD3 dan Tata Tertib DPR sehingga Wakil Ketua Komisi bisa ditambah jumlahnya untuk mengakomodir posisi Wakil Ketua baru yang berasal dari KIH. Inilah yang sangat mengherankan. Rupanya KMP tetap bertahan dengan Susunan Ketua Komisi dan Wakil Ketua Komisi yang kesemuanya berasal dari KMP. Sehingga untuk mengakomodir hak-hak KIH, maka KMP mengajak KIH untuk merubah UU MD3 dan Tata Tertib DPR agar wakil-wakil dari KIH bisa duduk di Komisi-komisi yang ada.
Bukan main Koalisi Mental Preman ini. Kerakusannya akan kekuasaan sudah tidak bisa dinalar lagi. Mereka dengan seenaknya merubah UU MD3 dan Tata Tertib DPR demi kepentingan mereka sendiri. Mereka menganggap sah-sah saja merubah UU demi kepentingan mereka.
Mereka sungguh memberi contoh buruk bernegara untuk masyarakat yang ada dan generasi mendatang.
Salam Blogger
Sumber : http://ift.tt/1xoSfnl
Kemungkinan Kekalahan Besar telah nampak di depan mata. Ini tidak bisa dibiarkan dan ini harus diantisipasi oleh Koalisi 6 Partai ini yang didukung juga para kartel-kartel perdagangan, seperti Mafia Daging, Mafia Beras, Mafia Haji, Mafia Migas dan lainnya.
Lalu kemudian Para Pimpinan Sengkuni mulai merencanakan Antisipasi Kekalahan pada Pilpres 2014 yang akan digelar pada tanggal 9 Juli 2014. Bagaimana caranya menolak kemenangan kubu lawan atau bagaimana caranya merusak kemenangan lawan menjadi bahan diskusi para Sengkuni tersebut.
Yang jelas pada tanggal 9 Juli Sore seperti pengalaman yang sudah-sudah pasti Hasil Quick Count berbagai lembaga survey sudah merilis hasilnya sehingga sudah ketahuan siapa yang menjadi pemenang Pilpres.
Sebelumnya para Sengkuni sudah melakukan cara-cara curang untuk membendung Elektabilitas Capres Jokowi. Isyu SARA sudah ditiup-tiupkan, Tabloid-tabloid Black Campaign sudah dilakukan, memakai Konsultan Asing juga sudah, menggandeng para ulama dan para veteran militer juga sudah, tapi Elektabilitas Jokowi masih juga tak terbendung.
Antisipasi terburuk adalah Jokowi sudah pasti menang dan menjadi Presiden. Bila itu terjadi Kemenangan masih bisa direbut dengan cara menjatuhkan / meng-impeachment Jokowi. Syaratnya adalah dengan menguasai Parlemen. Bagaimana caranya?
UU MD3 yang ada yang sudah berlaku selama 15 tahun adalah Ketua DPR dan Pimpinan-pimpinan DPR selalu berdasarkan Skala Proporsional hasil suara Pemilu Legislatif. Dan Pileg kemarin dimenangkan oleh PDIP berarti PDIP yang akan memimpin DPR. Ini harus dirubah agar PDIP tidak menjadi pimpinan DPR lagi. Keputusan para Sengkuni untuk Plan A adalah Rubah UU MD3 agar Parlemen dikuasai oleh 6 Partai ini. Dan akhirnya UU MD3 yang baru pun di sahkan secara curang oleh Koalisi Mafia Politik ini sehari sebelum Pilpres digelar (8 Juli 2014).
Ketua DPR dan pimpinan DPR yang baru nanti, yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 tidak serta merta berdasarkan Hasil Suara Pemilu Legislatif melainkan Harus merupakan Hasil Usulan minimal 5 Fraksi dan dipilih secara paket. Inilah Rencana Pertama.
Selanjutnya Plan B atau Rencana Kedua adalah mengulur-ulur Kemenangan Jokowi dengan berbagai cara. Ada beberapa bagian dari Plan B ini yaitu : Langkah pertama adalah mengacaukan Hasil Quick Count berbagai lembaga survey pada tanggal 9 Juli 2014. Kita semua menjadi saksi betapa kacaunya situasi politik pada tanggal 9 Juli sore lalu. Ada 2 versi Quick Count yang dipublikasikan berbagai Stasiun TV.
Berikutnya Langkah Kedua Plan B adalah menyerang KPU dan merekayasa kecurangan KPU sehingga bisa digunakan sebagai senjata untuk menolak Hasil Rekapitulasi Suara yang diumumkan oleh KPU dan untuk selanjutnya Perselisihan Hasil Pilpres dapat dilakukan Gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan proses gugatan di MK, maka semua perhatian tertuju ke MK dan menanti hasil Keputusan MK. Gugatan ke MK sendiri memang Gugatan Abal-abal karena semuanya penuh rekayasa dan tidak berharap kemenangan dari hasil Putusan MK. Tapi di sisi lain ada Plan C yang dibidik, yang tidak disadari oleh Kubu Pemenang Pilpres. Plan C adalah menguasai Birokrasi-birokrasi Daerah. Caranya adalah merubah UU Pilkada Langsung. Dan selanjutnya Plan D adalah mengupayakan mencari cara/ merekayasa alasan untuk dijadikan dasar untuk meng-Impeachment Presiden.
Dan kita lihat setelah Putusan MK keluar pada akhir Agustus 2014, ternyata ketegangan suasana Pilpres tidak mereda. Koalisi Merah Putih alias Koalisi Mental Preman masih melakukan maneuver-manuver politik dan membuat situasi politik dalam negeri tetap panas membara.
Akhirnya pada bulan September terjadi lagi ketegangan politik yang diakibatkan oleh Niat Buruk KMP untuk merubah UU Pilkada Langsung. Disini terjadilah penolakan besar-besaran oleh Rakyat dan Akhirnya SBY sebagai Presiden yang berkuasa tidak mampu membela KMP lagi dan akhirnya mengeluarkan Perppu untuk membatalkan Paripurna DPR yang mensahkan UU Pilkada Tak Langsung yang Kontroversial.
Selanjutnya mendekati Pelantikan Presiden Terpilih terjadilah hal-hal yang tidak biasa. Partai-partai pendukung KMP hampir semuanya menolak untuk diajak bersama membantu pemerintah. Partai-partai Sengkuni ini menolak bila salah seorang kadernya dijadikan Menteri oleh Jokowi. Mungkin tawaran itu terlalu kecil dimana biasanya mereka kalau bergabung dengan Pemerintah selalu mendapatkan 3 menteri. Akhirnya mereka menolak niat baik Jokowi tersebut.
Mereka bukan bodoh. Mereka menolak tawaran 1 menteri itu karena ada alasannya. Plan D diataslah yang menjadi Alasannya. Mereka sudah punya senjata UU MD3 sehingga mampu menguasai dan mencengkram DPR/ MPR dengan kuat. Mereka tinggal mencari cara/ merekayasa berbagai alasan agar dapat meng-impeachment Presiden. Dan setelah Presiden tumbang maka mereka bisa menguasai Pemerintah dan dibagi rata kekuasaan yang ada. Itu untuk melengkapi juga kekuasaan yang sudah mereka miliki baik di DPR dan MPR.
PERTARUNGAN PEREBUTAN KEKUASAAN DI DPR
Selanjutnya kita semua menyaksikan berbekal UU MD3 mereka dengan Gemilang menguasai jajaran Pimpinan DPR/MPR. Bahkan UU MD3 yang sangat aneh tersebut ditolak gugatan Judicial Reviewnya oleh MK. Tidak bisa dipungkiri bahwa 2 Hakim Konstitusi tertinggi yang berada di MK berasal dari partai-partai KMP tersebut.
KoalisI Mafia Politik pun akhirnya menempatkan semua orangnya di 5 pucuk Pimpinan DPR dan 4 dari 5 pucuk Pimpinan MPR. Bayangkan saja, baru pertama kali terjadi dalam sejarah dimana PDIP sebagai Partai Pemenang Pemilu tidak mampu menempatkan satu orangpun kadernya untuk menjadi salah satu Pimpinan di DPR dan MPR. Logika mana yang mampu membenarkan hal tersebut?
Selanjutnya setelah DPR dilantik, kembali Koalisi Mental Preman ingin menguasai 11 Komisi yang ada di DPR dan Alat Kelengkapan DPR lainnya seperti Bamus, Banggar, Baleg, BURT dan BAKN. Mereka benar-benar ingin menguasai Parlemen sampai ke akar-akarnya. Terlihat Dendam Membara di Koalisi Preman karena Jokowi sudah membentuk Kabinetnya dan menentukan Menteri-menterinya maka DPR dan MPR harus menjadi milik mereka.
Selanjutnya hal ini memicu penolakan dari kubu KIH. Setelah KMP menguasai pucuk-pucuk pimpinan DPR dan MPR masa iya KMP tidak mau memberikan sedikitpun kursi pimpinan Komisi dan Alat Kelengkapan DPR? Kalau begitu keadaannya semua Pucuk-pucuk pimpinan DPR dan semua komisi di kuasai KMP, itu artinya tidak ada lagi keterwakilan rakyat yang telah memilih KIH di DPR. DPR menjadi Dewan Perwakilan Rakyat yang memilih KMP atau lebih tepat lagi DPR adalah Dewan Perwakilan KMP.
Akhirnya terjadi kisruh panjang di DPR. Tidak terjadi Musyawarah untuk mufakat. Tidak ada Deal untuk bersama-sama memimpin Komisi-komisi dan Alat Kelengkapan DPR. KIH meminta untuk pimpinan-pimpinan Komisi berlaku Proporsional sesuai dengan prosentase hasil Pemilu Legislatif dimana dari 11 Komisi untuk KIH 5 Ketua Komisi sedangkan untuk KMP 6 Ketua Komisi. Begitu juga dengan Wakil Ketua Komisi dimana masing-masing Wakil Ketua Komisi berjumlah 2 orang sehingga total Wakil Ketua Komisi ada 33 orang . KIH meminta 11 Wakil Ketua Komisi dan sisanya 22 untuk KMP. Total yang diminta KIH adalah 16 Kursi Pimpinan yang terdiri dari 5 Ketua Komisi dan 11 Wakil Ketua Komisi.
Tapi semua itu ditolak KMP dan KMP hanya bersedia memberikan total 6 kursi pimpinan (termasuk Ketua dan Wakil Ketua). Disitulah terjadi perdebatan alot dan keras. Tetapi kemudian berikutnya KMP dengan alasan harus segera mengejar Tugas untuk mengawal Pemerintah, KMP bahkan langsung membentuk dan mensahkan Komisi-komisi yang ada yang hanya berisi perwakilan dari KMP sendiri. 9 Komisi di sahkan dengan formasi masing-masing 1 Ketua dan 2-3 Wakil Ketua. Semuanya berasal dari KMP. Sementara 2 Komisi yaitu Komisi V dan Komisi XI dikosongkan untuk Jatah KIH.
DPR TERBELAH DUA
Ini yang kemudian memicu protes keras dari KIH dan akhirnya KIH pun mengeluarkan Mosi Tidak Percaya dan membentuk Pimpinan DPR sementara versi KIH dan komisi-komisinya. DPR pun terbelah dua selama kurang lebih 2 minggu. Masyarakat yang melihatnya pun menjadi marah dengan kondisi itu.
Tepat sebulan DPR dilantik dimana para anggota Dewan Yang Terhormat sudah menerima gaji pertamanya, DPR masih dalam kondisi kisruh. Kedua Kubu masih juga tidak tercipta perdamaian sehingga makin menuai protes dari masyarakat.
Akhirnya setelah 3 minggu berjalan dengan kondisi seperti itu kemarin sore ada kabar bahwa KMP dan KIH sudah sepakat untuk membuat perdamaian dimana KMP bersedia memberikan posisi 21 Kursi Pimpinan (terdiri dari Wakil Ketua seluruh Komisi yang ada dan Alat Kelengkapan lain seperti Baleg, Banggar, BURT dan lainnya.). Rupanya KIH sudah mengalah dan tidak ngotot menempatkan anggotanya menjadi Ketua-Ketua Komisi dan menerima menjadi Wakil-Wakil Ketua Komisi saja.
Masyarakat yang mendengar kabar kesepakatan kemarin mulai lega dan berharap DPR segera berbenah dan langsung bekerja untuk mengejar ketinggalannya dari Pemerintah dimana Presiden Jokowi dan para Menterinya sudah jauh berjalan mengejar target.
Tetapi ternyata pagi tadi ada kabar bahwa partai Nasdem dan partai Hanura menolak hasil kesepaktan KMP dan KIH hari senin kemarin yang sudah dilakukan/ diwakili Pramono Anung dan Hatta Rajasa ditemani Idrus Marham. Rupanya kesepakatan KMP memberi 21 Kursi Pimpinan Alat Kelengkapan DPR itu ada syarat khusus atau dengan catatan besar.
Dan syarat khusus itu adalah merubah kembali UU MD3 dan Tata Tertib DPR sehingga Wakil Ketua Komisi bisa ditambah jumlahnya untuk mengakomodir posisi Wakil Ketua baru yang berasal dari KIH. Inilah yang sangat mengherankan. Rupanya KMP tetap bertahan dengan Susunan Ketua Komisi dan Wakil Ketua Komisi yang kesemuanya berasal dari KMP. Sehingga untuk mengakomodir hak-hak KIH, maka KMP mengajak KIH untuk merubah UU MD3 dan Tata Tertib DPR agar wakil-wakil dari KIH bisa duduk di Komisi-komisi yang ada.
Bukan main Koalisi Mental Preman ini. Kerakusannya akan kekuasaan sudah tidak bisa dinalar lagi. Mereka dengan seenaknya merubah UU MD3 dan Tata Tertib DPR demi kepentingan mereka sendiri. Mereka menganggap sah-sah saja merubah UU demi kepentingan mereka.
Mereka sungguh memberi contoh buruk bernegara untuk masyarakat yang ada dan generasi mendatang.
Salam Blogger
Sumber : http://ift.tt/1xoSfnl