Birahi Politik Legislatif
Jika seorang wanita sudah tidak lagi mau menjadi wanita yang sesungguhnya, maka tungulah detik-detik kehancuran sebuah rumah tangga. Begitu juga dengan Dewan Perwakilan Rakyat yang sudah mulai lupa dengan kodratnya sebagai wakil rakyat, maka tunggulah kehancuran bangsa Indonesia. DPR yang bertikai itu secara tidak sadar akan menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pelan dan pasti.
DPR sempat terbelah menjadi dua kelompok, dan sampai detik ini masih belum akur seratus persen. Masing-masing mengaku lebih baik dan benar, sesuai dengan jalurnya. Mereka yang banyak bicara baik di media cetak, tv, dan medsos, adalah orang-orang itu juga. Sampai masyarakat sumpek (blenek) melihat wajah-wajah itu.
DPR seolah-oleh tidak pernah merasa bersalah, dan ogah merubah prilaku dan etika yang kurang wajar itu. Masyarakat (rakyat) menyaksikan setiap hari di seputar sandiwara politik melalui TV, dan membaca di medsos dan media. Rakyat bawah menilai itu tontonan politik yang ngilani (menjijikan). Masak orang berpendidikan berprilaku seperti itu.
Ketidak se-imbangan dalam pembagian kekuasaan membuat ricuh sesame anggota DPR, antara KMP dan KIH. Media TV menanyangkan bagaimana mereka ber-teorika, beragumentasi, serta membela diri, dan membela partai politiknya. Bahkan, mereka seoalah-olah manusia suci yang tidak pernah berdosa.
Saat ini, mereka mulai berbagi kekuasaan. Walaupun masih banyak yang tidak puas dengan pembagian itu. Namanya saja kue politik yang berbau kekuasaan, tidak akan memuaskan semua pihak yang berebut. Ibarat Air laut, semakin banyak minum akan semakin haus, begitulah dengan jabatan, semakin tinggi jabatan, akan semakin rakus dan haus.
Apalagi, jabatan itu karena birahi politik pragmatis, yang semangat untuk menjatuhkan dan menguasai sangat tinggi. Betul pesan kitab suci yang mengatakan:”sesungguhnya nafsu itu selalu mengajak pada keburukan”.
Gus Dur pernah bilang kepada anggota legislatif:”DPR itu seperti taman kanak-kanak”. Dengan kata lain, belum dewasa dan tidak pernah mau dewasa untuk kepentingan NKRI. Padahal, mereka memiliki pendidikan yang tinggi. Pendidikan yang tinggi, kadang tidak bisa menjadikan orang berprilaku santun dan sopan.
Karena itulah pendidikan itu bukan sekedar tranformasi ilmu pengetahuan saja. Lebih dari itu, seorang guru harus bisa memberikan keteladanan. Dalam bahasa Jawa, para pengajar itu disebut dengan GURU yang artinya di gugu dan ditiru. Ucapan seorang guru bisa dipegang dan prilakunya bisa dicontoh. Dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Uswatun Hasanah”.
Sekarang tukang becak yang dulu dianggab tidak berpendidikan, terbelakang, sekarang justru terhormat. Tukang becak itu seringkali berbisik kepada putra-putrinya:” anakku….engkau kelak jangan menadi anggota DPR, karena kerjanya cuma bertengkar dan rebutan kursi, jika tidak memperoleh kursi, maka kursianya bisa dibanting”.
Indonesia dibangun dengan darah dan nyawa. Pada 10 November, rakyat Surabya berperang habis-habisan. Setelah KH Hasyim Asaary mengeluarkan resolusi Jidah. Bung Tomo dengan semangat, takbir, memimpin rakyat melawan Belanda hingga titik darah penghabisan.
Sekarang, angota DPR berjuang untuk kepentingan kelompoknya, agar mendapatkan jatah politik yang selama ini dicari. Teringat sebuah ungakapan menarik seorang dai. Berjuang bagi para ulama itu adalah melawan penjajahan Belanda, Jepang dengan mengorbankan jiwa dan raga, harta. Ujung-ujungny, kaluapun harus berpisah dengan orang-orang yang dicintai dalam kondisi sahid.
Tetapi manka berjuang sekarang berbeda. Berjuang berarti” baras, baju, dan uang”. Dengan kata lain, orang yang berjuang di DPR banyak mencari sandang, pangan, dan papan. Di tambah lagi dengan kepuasan diri di dalam menghina, meremehkan sesama anak bangsa Indonesia. Begitulah jika DPR lupa dengan kondratnya sebagai kepanjangan aspirasi rakat jelata.
Sumber : http://ift.tt/1oFqo1A
DPR sempat terbelah menjadi dua kelompok, dan sampai detik ini masih belum akur seratus persen. Masing-masing mengaku lebih baik dan benar, sesuai dengan jalurnya. Mereka yang banyak bicara baik di media cetak, tv, dan medsos, adalah orang-orang itu juga. Sampai masyarakat sumpek (blenek) melihat wajah-wajah itu.
DPR seolah-oleh tidak pernah merasa bersalah, dan ogah merubah prilaku dan etika yang kurang wajar itu. Masyarakat (rakyat) menyaksikan setiap hari di seputar sandiwara politik melalui TV, dan membaca di medsos dan media. Rakyat bawah menilai itu tontonan politik yang ngilani (menjijikan). Masak orang berpendidikan berprilaku seperti itu.
Ketidak se-imbangan dalam pembagian kekuasaan membuat ricuh sesame anggota DPR, antara KMP dan KIH. Media TV menanyangkan bagaimana mereka ber-teorika, beragumentasi, serta membela diri, dan membela partai politiknya. Bahkan, mereka seoalah-olah manusia suci yang tidak pernah berdosa.
Saat ini, mereka mulai berbagi kekuasaan. Walaupun masih banyak yang tidak puas dengan pembagian itu. Namanya saja kue politik yang berbau kekuasaan, tidak akan memuaskan semua pihak yang berebut. Ibarat Air laut, semakin banyak minum akan semakin haus, begitulah dengan jabatan, semakin tinggi jabatan, akan semakin rakus dan haus.
Apalagi, jabatan itu karena birahi politik pragmatis, yang semangat untuk menjatuhkan dan menguasai sangat tinggi. Betul pesan kitab suci yang mengatakan:”sesungguhnya nafsu itu selalu mengajak pada keburukan”.
Gus Dur pernah bilang kepada anggota legislatif:”DPR itu seperti taman kanak-kanak”. Dengan kata lain, belum dewasa dan tidak pernah mau dewasa untuk kepentingan NKRI. Padahal, mereka memiliki pendidikan yang tinggi. Pendidikan yang tinggi, kadang tidak bisa menjadikan orang berprilaku santun dan sopan.
Karena itulah pendidikan itu bukan sekedar tranformasi ilmu pengetahuan saja. Lebih dari itu, seorang guru harus bisa memberikan keteladanan. Dalam bahasa Jawa, para pengajar itu disebut dengan GURU yang artinya di gugu dan ditiru. Ucapan seorang guru bisa dipegang dan prilakunya bisa dicontoh. Dalam bahasa Al-Quran disebut dengan “Uswatun Hasanah”.
Sekarang tukang becak yang dulu dianggab tidak berpendidikan, terbelakang, sekarang justru terhormat. Tukang becak itu seringkali berbisik kepada putra-putrinya:” anakku….engkau kelak jangan menadi anggota DPR, karena kerjanya cuma bertengkar dan rebutan kursi, jika tidak memperoleh kursi, maka kursianya bisa dibanting”.
Indonesia dibangun dengan darah dan nyawa. Pada 10 November, rakyat Surabya berperang habis-habisan. Setelah KH Hasyim Asaary mengeluarkan resolusi Jidah. Bung Tomo dengan semangat, takbir, memimpin rakyat melawan Belanda hingga titik darah penghabisan.
Sekarang, angota DPR berjuang untuk kepentingan kelompoknya, agar mendapatkan jatah politik yang selama ini dicari. Teringat sebuah ungakapan menarik seorang dai. Berjuang bagi para ulama itu adalah melawan penjajahan Belanda, Jepang dengan mengorbankan jiwa dan raga, harta. Ujung-ujungny, kaluapun harus berpisah dengan orang-orang yang dicintai dalam kondisi sahid.
Tetapi manka berjuang sekarang berbeda. Berjuang berarti” baras, baju, dan uang”. Dengan kata lain, orang yang berjuang di DPR banyak mencari sandang, pangan, dan papan. Di tambah lagi dengan kepuasan diri di dalam menghina, meremehkan sesama anak bangsa Indonesia. Begitulah jika DPR lupa dengan kondratnya sebagai kepanjangan aspirasi rakat jelata.
Sumber : http://ift.tt/1oFqo1A