Suara Warga

Nestapa PNS di Era Indonesia Baru

Hari merayap semakin malam, sejak sore hujan mengguyur kota bogor dengan derasnya, padamnya aliran listrik menambah nikmatnya insan berlaki bini untuk memadu kasih. Sejak pulang kerja agak gelisah ingin membuat coretan-coretan untuk menumpahkan uneg-uneg di fikiran namun rasa malas lebih kuat, sekitar enam tema yang hendak saya buat tulisan, bukan tulisan ilmiah berdasarkan riset tetapi sekedar opini yang berasal dari lintasan-lintasan fikiran dan bersumber dari melihat, merasakan dan mempraktekan.

Ketika hendak berangkat keperaduan tiba-tipa hand phone berbunyi, dengan agak menggerutu saya datangi sumber suara, tidak biasannya ada telpon masuk malam-malam mengingat saya bukanlah orang penting dipekerjaan ataupun dalam kehidupan sehari-hari. Untung hanphone yang tadinya sudah dishutdown dihidupkan kembali gara-gara anak pertamaku ingin memfoto adiknya yang sedang belajar mengaji dengan ibunya, telfon itu datang dari pimpinan di kantor, inti dari percakapan kami adalah supaya rencana kegiatan meeting di hotel di bilangan wilayah jawa barat dibatalkan karena ada edaran dari Kemenpan & RB yang melarang Kementerian/Lembaga mengadakan rapat-rapat di Hotel.

Terkejut? Tidak karena info sudah beredar mouth to mouth maupun dimedia masa, hanya saja membutuhkan muslihat untuk menyampaikan pembatalan ini ke pihak hotel karena sudah pesan jauh-jauh hari, dan tentu saja yang paling penting tidak kena finalti dari pembatalan ini. Namun yang akan saya bahas dalam opini saya bukan soal itu, oke kita masuk ke inti masalah dari tulisan ini.

Sejak dilantik sebagai presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK ingin membuat kebijakan yang terbaik buat negeri ini (berbaik sangka). Sebagai presiden yang selalu mengedepankan ide-ide pertumbuhan ekonomi, pemerintah berusaha membersihkan benalu-benalu yang menghambat bagi pertumbuhan ekonomi dan investasi. Sudah banyak buku, beratus bahkan mungkin beribu-ribu artikel dan jurnal ilmiah yang ditulis oleh para pakar ekonomi yang mendeskripsikan peluang pertumbuhan ekonomi Indonesia dan faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Menurut para pakar tersebut, salah satu yang menjadi biang kerok dari lambatnya pertumbuhan ekonomi adalah Birokrasi yang tambun, korup, dan lambat dalam melayani dunia usaha. APBN terbesar dialokasikan untuk birokrasi sebesar 23,17 % dari total APBN 2013, dari jumlah itu alokasi terbesar untuk belanja pegawai baik itu untuk gaji, honor, perjalanan dinas dan rapat-rapat, oleh karena itu yang di incar pertama kali untuk dibereskan yaitu birokrasi. Langkah pertama kebijakan Jokowi-JK dalam “membereskan” birokrasi dengan moratorium penerimaan PNS selama 5 tahun kedepan. Tak pelak kebijakan ini mebuat gusar bagi mereka-mereka yang berharap ingin menjadi PNS, baik yang masih diluar maupun yang sudah lama menjadi tenaga honorer di Kementerian/Lembaga pemerintah.

Kebijakan teranyar yaitu dengan membuat surat edaran bahwa PNS dilarang mengadakan rapat-rapat di hotel dan membatasi perjalanan dinas. Kebijakan ini tentu sangat mengejutkan bagi PNS, betapa tidak? Gaji PNS itu sama dengan UMR bagi karyawan pabrik, bahkan lebih besar gaji pegawai swasta. Bisa dibayang, mereka yang sudah bergelar master, doctor bahkan professor, berapa gaji bulanan mereka (silahkan di search di google). Makna perjalanan dinas bagi PNS disamping sebagai melaksanakn tugas kantor, juga sumber sampingan penghasilan, maka dengan kebijakan melarang rapat diluar kantor dan perjalanan dinas dampaknya bagi PNS bagai disambar petir disiang bolong.

Artikel terkait : Nestapa PNS di Era Indonesia Baru

Selain berdampak bagi PNS, pelarang rapat diluar kantor dan perjalanan dinas ini berdampak pada pengusaha hotel dan maskapai penerbangan. Pada awal tahun 2014 media masa kontan membuat liputan khusus tentang pertumbuhan bisnis perhotelan di tahun 2014 dan seterusnya. Dalam laporannya para pengusaha optimis pertumbuhan bisnis perhotelan akan moncer, dengan kebijakan terbaru ini barangkali mereka akan mengkoreksi kembali targetnya. Kenapa? Karena market terbesar dari bisnis perhotelan adalah pemerintah. Demikian juga perusahaan maskapai penerbangan, kalau kebetulan saya dapat jatah perjalanan dinas, saya suka iseng memperhatikan para penumpang ketika dibandara, hampir 50% bahkan mungkin 70% lebih penumpang pesawat terbang kalangan pemerintah dari berbagai instansi baik pusat maupun daerah. Gaya dan gelagat PNS hampir sama, sehingga bisa diketahui tanpa harus menanyakan identitasnya.

Kebijakan terakhir pemerintah baru dalam rangka membereskan birokrasi dan menghemat APBN adalah akan memangkas gaji PNS, isyarat pemangkasan gaji PNS ini sudah dikemukanan sejak awal Jokowi dilantik sebagai presiden. Didepan sudah dijelaskan bahwa alokasi terbesar APBN untuk membiayai birokrasi. Pertanyaannya adalah apa benar membengkaknya belanja birokrasi disebabkan gaji PNS yang besar atau jumlah pegawai yang terlalu banyak? Mengetahui masalah dengan benar akan mendapatkan solusi yang tepat.

Setiap kebijakan ada pro dan kontra terutama pihak yang langsung terkena dampak dari kebijakan tersebut. Birokrasi memang perlu ditata agar Indonesia ramah bagi investor dan mampu membantu mempercepat pertumbuhan ekonomi, akan tetapi kebijakan yang baru saja dibuat tidak akan menyelesaikan permasalahan yang diharapkan. Sejujurnya, baru sekitar 10 tahun terakhir PNS agak bisa bernafas dengan nikmat, produktifitas kerjannyapun mulai meningkat seiring dengan kesejahteraan. Jika kebijakan ini akan keras dilaksanakan akan berdampak pada etos kerja. Prediksi saya PNS akan banyak mencari sampingan diluar untuk menutup kebutuhan rumah tangganya.

Untuk menyikapi kebijakan ini, menurut saya ada dua langkah yang bisa dilakukan, pertama keluar dari PNS kemudian mencari kerja di swasta, namun bagi saya mencari kerja tidak direkomendasikan karena sama saja keluar dari mulut singa masuk kembali ke mulut buaya. Satu-satunya jalan adalah dengan berbisnis. Jika memang niat baik pemerintah baru untuk memperbaiki kondisi perekonomian, saya kira iklim bisnis akan baik.

Langkah kedua, tetap sebagai PNS akan tetapi menggunakan sebagian waktunya untuk mencari sampingan rejeki diluar kantor seperti sebelum era reformasi, dimana pegawai mencari penghasilan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Langkah ketiga yaitu mengumpulkan asosiasi pengusaha hotel dan maskapai penerbangan untuk memprotes kebijakan tersebut. Surat edaran itu sudah bisa dipastikan membunuh para pengusaha hotel dan maskapai penerbangan, karena market terbesar mereka adalah pemerintah. Namun langkah inipun beresiko, karena pemerintahan baru yang terbentuk merupakan anak emas media (media darling). Begitu ada yang melakukan move-move menentang kebijakan pemerintah baru bisa babak belur digebuki media.

Tidak sederhana mengurai permasalahan birokrasi dan mencari solusinya, rezim terus berganti setiap lima tahun tetapi sistem birokrasi tidak mudah ditembus. Begitu ada rezim baru yang mencoba mengulik kemapanan birokrasi akan dikebiri dari dalam. Semoga era Indonesia Baru ini menghasikan solusi yang komprehensif.





Sumber : http://ift.tt/14fEvBR

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz