Suara Warga

Menghemat Tanpa Menaikan (Bagian Ke Dua.. Habis)

Artikel terkait : Menghemat Tanpa Menaikan (Bagian Ke Dua.. Habis)


Simulasi Perhitungan Harga Keekonomian BBM


Oleh: Edy Burmansyah





1.1. Skenario Kenaikan



Pemerintah berencana menaikan harga BBM eceran subsidi, namun sejauh ini belum diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan BBM, namun dari berbagai berita yang muncul di media dan pernyatan pejabat terkait, ada dua angka yang sering disebut yaitu Rp 2.000/ltr dan Rp 3.000/ltr. Demikian scenario kenaikan menggunakan dua angka tersebut.



1.1.1. Skenario Rp 2.000



Bila pemerintah menaikan harga jual BBM eceran sebesar Rp 2.000/ltr, maka harga baru yang terbentuk adalah RP 8.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 6.500), demikian, maka subsidi akan hilang sama sekali dan pertamina akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 250/ltr (Rp 8.250 – Rp 8.500) atau sebesar Rp 11.500.000.000.000 (Rp 11,5 Triliun)



1.1.2. Skenario Rp 3.000



Bila pemerintah menaikan harga BBM eceran sebesar Rp 3.000/liter, kenaikan ini akan merubah harga jual eceran BBM menjadi Rp 9.500/liter (Rp 6.500 + Rp 3.000). demikian, subsidi akan hilang sama sekali dan pertamina akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1.250/ltr (Rp 8.250 – Rp 9.500) atau sebesar Rp 57.500.000.000.000 (Rp 57.5 triliun).




2. Formula ESDM



Menteri keuangan, Bambang Brojonegoro, mempekirakan dengan harga minyak dunia USD 80/bbl, saat ini harga keekonomian BBM diatas sedikit Rp 9.000/ltr . Jika menggunakan formula seperti yang diterapkan kementerian ESDM, pekiraan angka keekonomian BBM versi Menteri keuangan akan terkonfirmasi . Dengan perbedaan penggunaan harga dasar minyak, maka formula perhitungan harga keekonomian BBM adalah :











Harga Keekonomian = Harga dasar minyak + Biaya LRT + 15% (pajak, dll)




Keterangan:



Nilai tukar USD : Rp 12.000


LRT : Lifting, Refinery, Transportasi/Distribusi


Biaya LRT : USD 24,1/bbl (LR= USD 12.8/bbl, T= USD 11,3/bbl) atau setara


Rp 1819/ltr


Harga minyak dunia : USD 80/bbl atau ekuivalen Rp 6.037/liter (USD 80/159 x 12.000)


1 barel : 159 liter


Pajak : 15% x (Harga dasar + LRT) ekuivalen dengan Rp 1.178/ltr




Demikian, maka harga keekonomian BBM dalam negeri yaitu :











Rp 6.037 + Rp 1.819 + Rp 1.178 = Rp 9.034





Jika subsidi adalah silisih antara harga keekonomian dengan harga eceran, maka besaran biaya subsidi per liter adalah










Rp 9.034 – Rp 6.500 = Rp 2.534/ltr





Bila subsidi per liter sebesar Rp 2.534/ltr, maka total dana subsidi untuk kuota 46 juta kilo liter sebagaimana ditetapkan dalam APBN 2015 yaitu sebesar Rp 116.564.000.000.000 (Rp 2.534 x 46 jt kilo Liter). Sementara alokasi dana subsidi BBM 2015 yaitu sebesar Rp 276 triliun, demikian terdapat selisih sebesar Rp 159.436.000.000.000 (Rp 276 triliun – Rp 116,5 triliun).



2.1. Skenario Kenaikan



Sampai saat ini belum dapat diketahui dengan pasti berapa besaran kenaikan harga BBM. Namun dari berbagai penyataan yang muncul kemungkinan kenaikan harga BBM berkisar anatara Rp 2.000 – Rp 3.000 per liter



2.1.1. Skenario Rp 2.000



Bila pemerintah menaikan harga BBM sebesar Rp 2.000, maka harga jual eceran BBM bersubsidi menjadi Rp 8.500/ltr (Rp 2.000 + Rp 6.500), dengan demikian maka subsidi yang masih ditanggung didalam anggaran negara yakni sebesar Rp 534/ltr (Rp 9.034 – Rp 8.500) atau sebesar Rp 24.564.000.000.000 ( Rp 534 x 46 juta KL).



Demikian, pemerintah akan beralasan kenaikan harga sebesar Rp 2.000/ltr akan menghemat APBN. Mantan menteri keuangan, Chatib Basri seperti kutif Kompas (28/8/2014) mengatakan jika pemerintah baru, menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 2.000 per liter, maka pemerintah bisa menghemat sekitar Rp 96 triliun. Artinya beban subsidi yang masih akan ditanggung APBN adalah Rp 180 triliun (Rp 276 tr – Rp 96 tr)



Namun jika dihitung berdasarkan harga keekonomian dan subsidi rill per liter, maka penghematan yang dapat dilakukan pemerintahj yaitu sebesar Rp 92 triliun ( Rp 116,5 tr – Rp 24,5 tr).



Sementara jika dihitung dari besaranya alokasi dana subsidi dalam APBN maka penghematan yang diperoleh pemerintah sangat signifikan yaitu sekitar Rp 251.4 triliun (Rp 276 Triliun – Rp 24.5 Triliun).



2.1.2. Skenario Rp 3.000



Bila pemerintah menaikan harga minyak sebesar Rp 3.000/liter, sehingga harga jual BBM eceran menjadi Rp 9.500/liter, maka subsidi akan hilang sama sekali, sebaliknya pertamina/pemerintah akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp 466/liter atau sekitar Rp 21.436.000.000.000 (Rp 21,4 triliun)










Subsidi = harga keekonomian – harga eceran


( Rp – 466 = Rp 9.034 – Rp 9.500 )





3. Kaji Ulang Formula Perhitungan



Meskipun simulasi perhitungan harga keekonomian dan subsidi BBM ini, menggunakan formula seperti yang diatur dalam pepres 71/2005 dan formula yang digunakan oleh Kemnteraian ESDM, tidaklah berarti bahwa kedua formula tepat dan sejalan dengan UU 22/2001 dan UUD. Penerapan kedua formula semata-mata dimaksudkan melihat sejauhmana kelemahan-kelemahan dari argumentasi pemerintah yang berencana menaikan harga BBM.



Namun terlepas dari hal tersebut, kedua formula tetaplah bertentangan dengan UU 22/2001 dan pasal 33 UUD, karena menyandarikan dirinya kepada mekanisme pasar. Baik formula Pepres maupun formula ESDM bengacu pada pasar minyak di negara lain atau dunia. MOPS yang menjadi harga patokan merupakan harga transaksi jual beli pada bursa minyak di Singapura. Begitu pula perhitungan subsidi dan harga keekonomian BBM yang mengunakan harga patokan minyak dunia, maupun ICP.



Namun demikian jika dibuat perbandingan diantara keduanya, pendekatan Pepres cenderung lebih baik, walaupun metode ini juga tidak sejalan dengan UU No.22/2001 tentang Migas dan semangat UUD. Ada beberapa alasan yang mendasarin, seperti tercantum pada table dibawah ini.







Tabel Perbandingan Formula Market Price dan Uplift Cost











































No



Alasan



Market price



Uplift Cost



1



Harga Pokok



Penggunaan MOPS cenderung membuat harga keekonomian BBM relative lebih stabil, karena harga MOPS dipatok selama satu tahun



Penggunaan harga minyak dunia sebagai harga patokan, membuat harga keekonomian BBM bersubsidi menjadi fluktuatif dan tidak stabil



2



Penyesuaian Anggaran



Harga MOPS dan besaran Alpha yang digunakan adalah harga MOPS dan Alpha yang dipatok satu tahun, ini membuat pemerintah memiliki kepastian dalam menjalan program-programnya yang telah disusun dalam APBN



Fluktuasi harga keekonomian mengikuti fluktuasi harga minyak dunia, membuat pemerintah harus terus-terusan melakukan penyesuaian anggaran, karena besaran subsidi BBM dalam APBN juga akan mengalami hal serupa (naik turun), bahkan tidak menutup kemungkinan disaat harga minyak tiba-tiba melonjak tinggi diatas harga patokan yang ditetapkan dalam APBN, akan terjadi deficit anggaran berjalan.



3



Dasar Hukum



Pepres 71 tahun 2005



Tidak ada



4



Harga Keekonomian



Lebih mendekati harga keekonomian yang ideal



Seringkali jauh dari proyeksi harga keekonomian



5



Komponen Biaya



Lebih mewakili komponen biaya-biaya karena besaran Alpha dibentuk berdasarkan komponen yang relative lengkap dan mewakili biaya-biaya yang dikeluarkan sesungguhnya diantaranya; Fee penyalur, margin badan usaha, biaya pengakutan, penyimpanan dan penyaluran (distribusi dan handing), Namun metode ini tidak memasukan komponen pajak



Meski tidak memperhitungkan biaya Fee dan margin badan usaha, namun formula ini memasukan komponen pajak






Sementara itu formula perhitungan yang menggunakan ICP sebagai harga patokan untuk BBM yang berasal dari minyak dalam negeri, tidak juga berarti sepenuhnya sejalan dengan UU No.22/2001, karena pada kenyataannya ICP seringkali dibentuk oleh sebagain mekanisme pasar.



ICP memang pertama-tama disusun dengan menggunakan metodologi benchmarking, namun dalam prakteknya sering ditetapkan dengan metodologi indeksasi. Metode benchmarking mengacu pada harga minyak mentah Indonesia yang diperdagangkan di pasar internasional dan dipublikasikan oleh Publikasi Internasional. Namun dengan alasan ketiadaan harga minyak mentah Indonesia yang bisa dijadikan acuan, maka penetapan harga ICP dilakukan dengan metode indeksasi terhadap harga minyak mentah internasional atau produk turunannya yang diangap berkesesuaian. Metode ini memungkikan harga ICP dibentuk berdasarkan dua assessment data yaitu 50% RIM dan 50% plats. Rim merupakan lembaga penilai harga minyak yang berbasis di Tokyo, Jepang, sedang platt’s yang dimaksud adalah Mid Oil Platts Singapore (MOPS) yang merupakan bursa minyak di Singapura.



Dengan demikian, pemerintah harus meninjau ulang keberadaan Pepres No.71/2005 dan serta revisi peraturan pemerintah No 79 tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu miyak dan gas bumi, khususnya pada 22 ayat 3 yang menjadi payung hukum bagi terbitnya keputusan menteri ESDM tentang harga ICP setiap bulannya, revisi terutama dilakukan dengan menabahkan frasa “hanya boleh/harus menggunakan metodologi benchmarking dalam ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia……..” demikian maka ICP tidak diperkenan meggunakan metodologi lain termasuk metodologi indekasi.



Dalam kaitan tersebut, agar tidak terus-terusan menimbulkan persoalan dikemudian hari karena dinilai menambrak konstitusi, perlu kira bagi pemerintah memperbaiki berbagai perangkat hukum dan aturan terkait dengan penggelolan migas dari hulu hingga hilir, tentu dengan mengubah formula perhitungan subsidi dan harga keekonomian yang pantas dan wajar bagi rakyat



Perbaikan tersebut diawalin dengan melakukan revisi atas Undang-Undang No 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi yang lebih sejalan dengan semangat Undang-undang dasar.




Kesimpulan dan Rekomendasi



Pada simulasi menghitung subsidi dan harga keekonomian BBM ini, menggunakan dua formula yang berbeda yaitu yang ditetapkan dalam Pepres 71/2005 dan formula yang diguna olehKementerian ESDM. Kedua formula.



Pada penerapan kedua formula/rumus yang digunakan pemerintah tersebut, tampak bahwa subsidi yang ditanggung tidak sebesar seperti digembar-gemborkan selama ini. Harga keekonomian BBM berada pada kisaran Rp 8.250/liter (Market price) dan Rp 9.034/liter (Uplift Cost). Sementara subsidi per tahun berada anatara Rp 80.5 triliun (Pepres) dan Rp 116,5 triliun (ESDM), kedua angka ini jauh lebih kecil dari alokasi dana subsidi BBM yang terdapat dalam APBN 2015 sebesar Rp 276 triliun.



Dengan menggunakan formula yang sama ketika diterapkan untuk scenario kenaikan BBM sebesar Rp 2.000/ltr dan Rp 3.000/ltr, simulasi yang dilakukan justeru mencatat kenaikan harga BBM bukan dimaksudkan untuk mengurangi subsidi tetapi mencabutnya sama sekali. Pada formula Pepres kenaikan harga sebesar Rp 2.000/ltr akan membuat Pertamina memperoleh keuntungan sebesar Rp 250/ltr atau Rp 11,5 triliun, sedangkan pada skenario kenaikan Rp 3.000/ltr, keuntungan yang diperoleh pertamina Rp 1.250/ltr atau sekitar Rp 57,5 triliun, bahkan bila dihitungan dengan seksama keutungan yang diperoleh perusahaan plat merah tersebut, kemungkinan melampaui angka-angka yang disebutkan, karena seperti diketahui didalam Alpha telah termasuk komponen margin (keuntungan).



Sementara pada penerapan simulasi dengan menggunakan formula yang biasa digunakan Kemneterian ESDM, kenaikan Rp 2.000/ltr masih membebankan subsidi pada APBN sebesar Rp 534/ltr atau Rp 24,5 triliun, namun pada kenaikan Rp 3.000/ltr, perusahaan yang sahamnya dimiliki 100% oleh pemerintah tersebut memperoleh keuntungan sebesar Rp 466/ltr atau Rp 21,4 triliun.




Bertentangan Dengan Konstitusi



Kebijakan menaikan harga dengan menghapuskan subsidi BBM sama sekali, tidak sejalan dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Seperti diketahui putusan Mahkah Konstitusi nomor 002/PUU-I/2003, yang mencabut pasal 28 ayat (2) dari UU nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas (migas) karena dianggap bertentangan dengan pasal 33 Undang-Undang dasar republic Indonesia (UUD RI), menyatakan: “Harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada persaingan usaha yang sehat dan wajar dari Undang-Undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan Undang-Undang dasar Republik Indonesia.



Makna dari putusan MK tersebut yaitu pengaturan tentang penentuan harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi tidak boleh diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, dengan kata lain tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar, karena dianggap dapat mengancam hak rakyat atas harga yang terjangkau (affordable price) untuk komoditi atau cabang produksi penting, yang menguasai hajat hidup orang banyak.



Untuk itu, maka pemerintah harus mempertimbangkan ulang rencana kenaikan harga BBM. Penghentian rencana kenaikan BBM tidak akan membuat pemerintahan kesulitan pendanaan untuk menjalan program-programnya seperti dijanjikan pada masa kampanye. Penghematan dalam APBN masih dapat dan sangat memungkin dilakukan, bila pemerintah melakukan perhitungan ulang dengan cermat besaran alokasi subsidi BBM dalam APBN 2015.




Menghemat APBN Tanpa Menaikan Harga BBM



Jika pemerintah menghitung dengan cermat besaran alokasi biaya subsidi tahun 2015, maka pemerintah akan menemukan perbedaan antara besaran dana subsidi yang dialokasikan dalam APBN dengan subsidi rill yang semestinya ditangung oleh negara.



Pada perhitungan harga keekonomian dan subsidi BBM dengan menggunakan formula yang ditetapkan dalam Pepres 71/2005 maupun dengan menggunakan formula yang digunakan Kementerian ESDM, ditemukan selisih lebih dana alokasi BBM pada APBN 2015. Pada perhitungan yang mengacu pada Pepres, angkan selisih lebih mencapai Rp 195.500.000.000.000. Sedangkan perhitungan yang mengacu pada formula ESDM ditemukan angka selisih lebih sebesar Rp 159.436.000.000.000.



Angka selisih lebih tersebut, bukan sebuah angka kecil, bila angka tersebut ditambahkan dengan penghematan yang berhasilkan dilakukan pada pos-pos pengeluaran lain, misalnya biaya perjalanan dinas, biaya rapat-rapat kementerian dan lembaga, dan pos pengeluaran lain-lain lainnya. Jumlah tersebut kemungkinan cukup untuk membiayai sebagian program-program pemerintahan Jokowi-JK yang dijanjikan semasa kampanye dahulu. ***






















Daftar Pustaka


Abdullah, maryati dan D.C, Ambarsari, memahami aliran pendapatan unjtuk transparansi Migas, Pusat Telaah dan Informasi Regional, Desember, 2010



Berita Resmi Statistik, No. 71/10/Th. XVII, 1 Oktober 2014, Perkembangan Ekspor dan Impor Agustus 2014



Gie, kwik kian, mencari harga BBM yang pantas untuk rakyat Indonesia, 24 September 2014 , diakses dari http://ift.tt/1uYoYC2



Kartika, Shanti Dwi, Judicial review UU APBN-P 2012, Jurnal Info Singkat, Vol IV, No,07/I/P3DI/April/2012



Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral No. 2187 K/12/MEM/2014 tentang harga patokan jenis bahan bakar minyak tertentu untuk PT Pertamina (Persero) tahun anggaran 2014



————————————-—– No 23 tahun 2012 Tentang tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia.



—————————————– 3616 K/12/MEM/2014 Tentang penetapan harga minyak mentah Indonesia bulan Agustus 2014



Nota Keuangan dan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara, Tahun Anggaran 2015



Pepres No.71 tahun 2005 tentang penyediaan dan pendistribusian jenis bahan bakar minyak tertentu



Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.79 Tahun 2010 tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidnag usaha hulu miyak dan gas bumi



Prakarsa, Subsidi dalam penguatan kebijakan fiskal pro kemiskinan, Policy Brief. 14 juni 2013



Pusat data dan informasi energi dan sumber daya mineral, kemneterian energi dan sumber daya mineral, Key Indicator of Indonesia Energy and mineral resourcesm 2011



Global Subsidies Initiative, Briefing Papers, Subsidi energi Indonesia, juni 2014



Global Subsidies Initiative—International Institute for Sustainable Development—Institute for Essential Services Reform, Panduan masyarakat tentang Subsidi Energi di Indonesia, 2012, diakses dari http://ift.tt/10OPnEd








Pada perhitungan BBM yang berasal dari dalam negeri ESDM menggunakan harga dasar minyak yaitu ICP sebesar USD 105/bbl, sementara pada perhitungan ini kita menggunakan harga dasar yaitu harga minyak dunia saat ini USD 80/bbl, yang diasumsikan BBM berasal dari minyak impor





*Edy Burmansyah menyelesaikan studinya Sekolah Tinggi Ekonomi, Adhy Niaga. Sebelum bergabung sebagai peneliti tetap di Martapura Institute, Edy aktif diberbagai lembaga penelitian yang bergerak pada isu perdagangan bebas dan globalisasi, diantaranya Institute for Global Justice, Resistance and Alternatives to Globalization, Ia juga sempat bekerja sabagai analisi pada sejumlah perusahaan Skuritas di Jakarta, diantara Garuda Nusantara Kapital dan OSO Securities. Edy Aktif menulis isu-isu globalisasi dan perdagangan bebas diberbagai media nasional (Kompas, Bisnis Indonesia, Republik, dll), disamping menjadi pembicara di berbagai seminar tentang globalisasi dan perdangan bebas. Buku terbarunya, Rezim Baru ASEAN: Memahami Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Rantai Pasokan Global, terbitkan oleh Insist Press dan RAG.



Note : Apabila pembaca berniat memiliki tulisan ini, silahkan kirimkan email ke (pangulimara@gmail.com)






Sumber : http://ift.tt/1uYoYC7

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz