Suara Warga

Maaf, Pak Jokowi



Bahan Bakar Minyak (BBM) naik dari 6.500 menjadi 8.500 rupiah sejak pukul 00.00 WIB, 18 November 2014. Artinya, hilang sudah simpati saya terhadap Joko Widodo. Apa salah BBM dinaikkan? Alasan apapun, logika saya belum bisa menerima. Tanggal 10 Oktober sampai 18 November adalah waktu yang sangat singkat untuk mengambil keputusan ini. Baru kali ini ada presiden langsung di demo dalam usia kepemimpinan seumur jagung. Salah siapa? Ini tentang kepercayaan. Ini mengenai kesengsaraan rakyat. Ini berhubungan dengan politisasi yang selalu mengibuli pola pikir masyarakat yang mudah aja ditipu.



Yang benar saja? Rakyat Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan bisa dapat dana 400 ribu rupiah dalam 2 bulan sekali. Yakin bisa terealisasi tepat waktu? Benar tepat sasaran? Apa kabar BLT? Rasanya kami belum lagi menerima bantuan tersebut. Bantuan Langsung Tunai (BLT) menurut hemat saya malah terkatung-katung. Tidak semua masyarakat menerimanya. Buktinya, media belum mampu merangkul berita ini dengan benar atau malah sebaliknya, berita ini sudah basi. Nyatanya di lapangan, masih banyak masyarakat yang merindukan janji presiden terdahulu tersebut.



Bagi penerima dana rutin bukan bernama BLT lagi, bisa ngelus dada. Walau tak seberapa asalkan ada. Bagi yang tidak menerima, bisa langsung melipat salam 2 jari selama mendukung Jokowi menjadi presiden. Karena 2 jari sudah naik jadi angka 2000. 2000 saja cukup menyakitkan bagi masyarakat yang selalu saja membeli BBM. Layaknya pemerintah merumuskan kembali arti kemiskinan dengan sebenarnya. Kemiskinan bagai gunung es. Data tahun ini, bulan ini, hari ini bahkan detik ini bisa berubah-ubah. Orang kaya bisa miskin dalam seketika saat musibah menerpa. Ingat bencana alam di seluruh Indonesia bukan? Berapa kerugian mereka? Apakah langsung mendapat dana khusus tersebut? Mereka baru miskin kok, belum lagi terdata. Lalu bagaimana dengan kehidupan orang-orang ini selanjutnya. Meratapi kemiskinan bukanlah pilihan selain bekerja mencari makan 3 kali sehari. Dan belum lagi kemiskinan akibat persoalan lain. Di bumi Indonesia ini, kemiskinan sudah menjadi PR tak terselesaikan. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat bergaji seperti Anda, Pak. Nasib mereka sudah tercekit tanpa dinaikkan BBM.


Artikel terkait : Maaf, Pak Jokowi

Alasan demi memperbaharui insfrastruktur, pelabuhan, bandara, dan jalan raya menjadi tekad terkuat BBM harus dinaikkan. Apa iya semua perubahan itu dinikmati masyarakat miskin? Apa benar seluruh pelosok negeri menerima imbasnya? Bagaimana dengan masyarakat pedalaman yang tidak menerima manfaat tapi tetap beli BBM 8.500 perliter?



Apalagi yang diharapkan? Toh hidup kami yang tidak dapat jatah hidup dari pemerintah akan begini-begini saja. Tak perlu berkeluh-kesah karena rejeki ada yang ngatur. Tapi inilah keputusasaan dan hembusan napas berat kami masyarakat miskin. Mau teriak sampai gelas pecah seperti ungkapan puisi Rangga yang dibacakan Cinta di film Ada Apa Dengan Cinta?, juga tidak dapat mengubah suasana. Mau berlayar dengan Perahu Kertas Dee Lestari ke negeri lain yang lebih makmur, belum terinjak sepenuh badan langsung karam di air dangkal.



Adakah harapan? Saya tidak tahu. Tatapan mata masyarakat telah terlanjur kosong. Mereka tidak bersuara. Apakah ini keputusasaan saya semata? Tapi ribuan mahasiswa telah menggelar aksi di mana-mana, mengutuk kenaikan BBM. Aktivits LSM sampai hilang suara dan kehabisan tinta menulis protes ini. Apakah ada yang dengar? Apakah harus terulang Mei 1998 di masa kepemimpinan di umur masih bayi ini? Barulah Indonesia kembali menjadi negara krisis ekonomi. Terlalu cepat harga BBM dinaikkan, masyarakat akan menilai pekerjaan pemimpin yang telah menjadi cover majalah Time ini setahun kemudian bukan sebulan yang lalu.



Lantas, kemakmuran kemudian jadi milik pegawai negara. Seperti biasa, BBM naik gaji abdi negara tak lama menyusul naik. Tidak sekarang ya nanti saja. Silahkan tunggu saja. Mereka bergaji, hidup tinggal goyang kaki. Kami yang tak bergaji, hidup jadi pincang karena sebelah kaki tak lihai diajak berlari. Mencari rezeki. Tapi Tuhan telah mengatur, hidup begini saja tak usah bermimpi jadi kaya. Usaha tak mengubah segala. Tapi usaha perlu ada.



Dee Lestari pernah menulis dalam cerpen Filosofi Kopi “walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya.



Memang benar, walau dipaksa sampai urat nadi terputus, korban jiwa dalam aksi protes di mana-mana, kebijakan tetap disahkan. Tinggallah hidup begini saja, apa adanya, bahagia sesuai takaran senyum di wajah, dan mencapai sempurna dibawah bayang kesempurnaan.



Mungkin ini hanya sebuah tulisan galau, sifat putus asa dan lain sebagainya. Tapi inilah yang saya rasa. Bagaimana dengan Anda?



Maaf, Pak Jokowi. Ini baru permulaan pahit. Bagi negeri dan anak bangsa yang menjerit pilu!




Sumber : http://ift.tt/1v6CLEQ

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz