Suara Warga

Kisruh DPR, Kasus MA Libatkan Fadli Zon: Contoh Komunikasi dan Politik Banal ala Amerika Pun Tidak!

Artikel terkait : Kisruh DPR, Kasus MA Libatkan Fadli Zon: Contoh Komunikasi dan Politik Banal ala Amerika Pun Tidak!

Kisruh di DPR dan kasus pornografi MA yang melibatkan Fadli Zon menggambarkan secara tepat politik dan komunikasi politik banal yang di Amerika pun tak akan terjadi. Banalisme itu tergambarkan dengan pecahnya DPR. DPR terbelah. Komunikasi mampat. Tak ada lagi musyawarah dan mufakat. Yang ada hanyalah pamer kekuatan: konsep banalisme politik yakni ‘saya yang menang dan saya yang kalah’ menjadi acuan untuk berpolitik dan berkomunikasi politik. Banalisme politik dan komunikasi politik ini lebih tergambarkan lagi dengan kasus pornografi MA yang melibatkan Fadli Zon. Bagaimana banalisme komunikasi politik dan politik banal dipraktekkan di Indonesia dan apa dampaknya bagi perpolitikan dan hukum nasional?

DPR pecah dan terbelah. DPR yang terpecah dan terbelah adalah gambaran politik yang sakit dan tidak sehat. Dua kubu pendukung capres - yang sudah lewat dan seharusnya dilupakan dan bersatu - gagal melepaskan ‘rasa dendam dan rasa menang’. Kubu Prabowo merasa kalah dan dendam terkait pilpres, namun merasa menang di DPR dan MPR. Sedangkan kubu Jokowi merasa menang di pilpres dan kalah di DPR dan MPR.

Akibatnya, segala proses dan kejadian politik, bahkan komunikasi politik dilakukan dengan sangat banal: keras, kejam, tanpa arah, ngawur dan tak berperasaan - sebagai ungkapan dendam dan sakit hati serta rasa menang di dua kutub yang berbeda.

Koalisi Prabowo merasa menang dan tak memberi ruang berkomunikasi kepada pihak yang dianggap kalah: kubu Jokowi. Konsep the winners take all menjadi acuan. Voting menjadi andalan karena dipastikan akan menang. Musyawarah untuk mufakat dijauhi oleh kubu Prabowo karena merasa sudah pasti menang dengan sistem voting.

Sebaliknya kubu Jokowi pun menampakkan sikap frustasi politik. Komunikasi politik mampat. Tak ada peluang dan ruang yang mampu membuka alternatif pilihan selain voting yang disampaikan oleh kubu Prabowo. Artinya, seluruh keputusan sidang pariipurna hanya akan menimbulkan ‘perasaan’ kalah di kubu Jokowi dan perasaan menang di kubu Prabowo.

Penyebab segala kekisruhan dan pelibatan Fadli Zon mencampuri urusan hukum MA adalah sekali lagi: kekalahan pilpres yang menimbulkan dendam kesumat. Kekissruhan di DPR dan kasus MA menggambarkan bahwa komunikasi politik di tingkat elite parpol hanyalah kosmetik. Para penguasa parpol yang cipika-cipiki, berangkulan, dan saling melemparkan pernyataan nyatanya hanya kedok politik busuk dan justru lebih menggambarkan banalisme politik.

Para pemimpin parpol dari kedua kubu Prabowo dan Jokowi adalah para al munafiqun, para orang hiprokit yang di depan kamera dan depan publik menunjukkan sikap baik, legowo atas kekalahan, dan tidak jumawa atas kemenangan. Di lain waktu, di belakang memerintahkan kebijakan di DPR yang bertolak belakang dengan gambaran di layar televisi.

Instruksi yang disampaikan oleh para pemimpin partai kubu Prabowo kepada para anggota DPR yang mereka kuasai - sebagai amalan politik banal - berupa: jangan kompromi, sapu bersih, kuasai semuanya, jangan diberi ruang kepada kubu lainnya. Sementara kubu Jokowi hanya bisa pasrah dan kalah dan akhirnya frustasi. Ini artinya seni sebagai anggota DPR gagal melakukan fungsinya sebagai politikus. Komunikasi yang terjalin menjadi komunikasi politik banal dan wujud banalisme politik di kalangan elite bangsa Indonesia.

Kondisi psikologis yang seperti ini menyebabkan ruang komunikasi politik tak tercipta secara sehat. Lobi politik pun tak terjadi. Yang ada adalah sikap menang sendiri dan frustasi. Paparan komunikasi politik banal itu secara gambling tergambarkan dari berbagai pernyataan politik.

Yang paling santer dan kencang adalah pernyataan Fahri Hamzah dan Fadli Zon yang menampilkan cara komunikasi politik banal. Seharusnya, jika mengedepankan politik santun, dan strategi politik dan komunikasi politik yang normal, umum dan bermartabat, sikap ketus dengan pernyataan mabuk kemenangan di DPR dan MPR - sekaligus wujud dendam kesumat kekalahan - tak akan muncul.

Kasus pornografi MA melibatkan Fadli Zon. Sikap banalisme politik itu lebih tergambarkan lagi dengan keterlibatan Fadli Zon dalam kasus pornografi MA. Sikap Fadli Zon ini persis sama dengan Habiburrahman yang membela mati-matian penggagas Obor Rakyat. Fadli Zon tampil sebagai pembela kebebasan pelaku pelanggaran hukum. Hukum dicoba dicampuri secara banal oleh politikus yang hanya memikirkan satu hal: semua hal terkait Jokowi harus diserang yang menjadi keyakinan Fadli Zon dan Prabowo.

Maka, tanpa malu dan memerhatikan dan memelajari hukum, Fadli Zon mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bernada membela MA. Ini wujud intervensi hukum yang merupakan gambaran politik dan cara komunikasi politik banal.

Karenanya, (1) gambaran sikap dan komunikasi politik di tingkat para ketua umum parpol dan pentolan partai yang tampak bersahabat, (2) adalah wujud hiprokisi dan kemunafikan politik yang berbeda disampaikan ke para cecunguk di DPR, karena (3) rasa menang dan rasa kalah dipelihara sebagai kebijakan, (4) yang menyebabkan seni dan strategi politik seperti lobi, musyawarah dan mufakat tak lagi dianggap perlu, (5) karena banalisme politik adalah acuan bagi mereka.

Jadi, di mata para politikus partai dan di DPR, negara dan bangsa serta kepentingan rakyat tidak menjadi acuan. Yang menjadi acuan adalah kepentingan mereka untuk berkuasa dan menguasai sumber ekonomi: harta, takhta, wanita-pria yang menjadi acuan mereka. Rakyat hanya mainan. Maka politik dan komunikasi politik yang banal adalah gambaran sempurna ideologi politik sesungguhnya yang mereka percayai dan praktekkan yang di Amerika pun tak dipraktekkan.

Salam bahagia ala saya.




Sumber : http://ift.tt/1ugNM7Y

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz