Suara Warga

Dampak Tirani Mayoritas di DPR Mulai Terlihat

Artikel terkait : Dampak Tirani Mayoritas di DPR Mulai Terlihat

Walau untuk kelangsungan kerja pemerintah Jokowi soal kisruh di DPR saat ini belum begitu dirasakan, namun bagi para staf ahli dan asisten pribadi anggota parlemen tersebut sudah menunjukkan gejala negatif. Menyangkut urusan finansial. Gaji yang diterima biasanya awal bulan, belum ada tanda-tanda akan turun. Disini.

Siapa salah dalam hal ini ? Mari kita kaji dengan hati nurani tanpa didasari rasa iri, dengki dan sakit hati.

Kisruh di tubuh parlemen bermula dari disahkannya UU MD3 oleh Koalisi Merah Putih sebagai mayoritas keanggotaannya menjelang pilpres kemarin. Pekerjaan anggota legislatif untuk menyelesaikan RUU yang berhubungan langsung dengan rakyat malah tidak terselesaikan hingga berakhir masa jabatannya, namun khusus RUU MD3 hanya memakan waktu beberapa minggu saja. Ditambah satu lagi berhasil disahkannya RUU Pilkada yang sempat 2 tahun lalu dimunculkan dan mengalami deadlock pembahasannya. Terhitung lebih dari 40 RUU lainnya mangkrak belum terselesaikan pada periode 2009-2014. Pekerjaan yang mengecewakan sebagai fungsi legislatif karena hanya mampu menyelesaikan RUU menjadi Undang-Undang dibawah 50%.

Awam pun bisa menebak kemana arahnya dengan disahkannya RUU MD3 tsb. KMP yang menjadi pelopor dan menguasai parlemen bertujuan untuk mendominasi pimpinan di DPR setelah harapannya memenangkan pilpres kemarin kandas. Jika alasannya tidak melanggar konstitusi memang benar. Mahkamah Konstitusi pun sudah memutuskannya. Namun tirani mayoritas yang dbangun telah mencederai arti dari demokrasi itu sendiri, khususnya di Indonesia yang mengedepankan asas musyawarah dan mufakat. Pengabaian pada suara minoritas.

Kejadian di Mesir sewaktu dipimpin presiden Mursi yang didukung oleh mayoritas di parlemen, secara konstitusi juga sah. Namun dengan tanpa mempertimbangkan suara minoritas dan mengubah undang-undang berdasarkan tirani mayoritas, konflik pun muncul. Sebagian rakyatnya yang tidak setuju melakukan protes. Kesempatan diambil oleh kalangan militer untuk mengambil alih kekuasaan. Begitu pula ketika di negara kita pada jaman orba. MPR dan DPR yang sudah dikuasai oleh pendukung Soeharto, akan selalu membenarkan tindakan presiden yang berkuasa 32 tahun tsb. Namun rakyat mulai sadar dan berani bergerak menuntut penurunannya. Secara konstitusi Soeharto juga tidak melanggar keberadaannya menjabat presiden, undang-undang waktu itu membolehkannya. Bukan hal aneh karena pembuat undang-undang tsb para pendukungnya dan itupun dianggap sah.

Koalisi Indonesia Hebat sebagai pengusung presiden terpilih, Joko Widodo, yang dimotori oleh PDIP pemenang pemilu mulai melakukan perlawanan pada tirani mayoritas KMP. Sudah jabatan pimpinan di DPR dan MPR tidak kebagian satu kursipun, Alat Kelengkapan Dewan juga akan dikangkangi oleh orang-orang pendukung KMP. Jalan KIH untuk melakukan perlawanan mulai terbuka ketika PPP mengalami goncangan. Pecahnya partai berbasis agama ini dimanfaatkan oleh KIH. Kubu Romarhurmuzy yang merapat ke KIH segera disahkan keberadaannya oleh kemenkumham sebagai bentuk legalisasi partai yang diakui oleh pemerintah.

Dengan munculnya PPP versi kubu Romi ini, pembentukan AKD yang dibuat oleh KMP menjadi tidak sah keberadaannya. Agus Hermanto sebagai pimpinan sidang paripurna secara sepihak menerima paket usulan dari PPP pimpinan Surya Dharma Ali. Padahal secara legalitas kubu Romi lah yang sudah diakui oleh pemerintah. Jika Komisi-Komisi tersebut nekad untuk tetap bekerja, hasilnya pun akan dianggap ilegal.

Perlawanan yang dilakukan oleh KIH ternyata membuat keder juga kubu KMP. Terbukti sampai saat ini Komisi yang dibentuk masih mandul dan belum berani bekerja. Akibatnya gaji staf ahli dan asisten pribadi di DPR pun menuai dampaknya. Kepastian turunnya gaji terkatung-katung. Tirani mayoritas yang dibuat oleh KMP akhirnya menemui batunya. Kerja parlemen sebagai fungsi legislatif tidak berjalan alias mandul kehilangan legitimasinya. Siapa yang dirugikan dengan kasus ini ? Jika berlanjut terus tentunya pemerintah dalam hal ini pesiden Jokowi dan kabinetnya, juga rakyat akan terkena dampaknya. Untuk itu tirani mayoritas yang dibangun oleh KMP sebaiknya dihentikan dan kedepankan asas musyawarah mufakat, jangan sampai nanti rakyat menjadi marah dan menduduki gedung DPR seperti tahun 1998 lalu.




Sumber : http://ift.tt/1tWxnUa

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz