CSR PT.Timah “Haram” Hukumnya Karena Korporat Perusak Lingkungan
Akan tetapi, menolak CSR PT.Timah Tbk dalam rezim ekonomi global yang kini sudah dikuasai oleh kejayaan korporasi—di mana kekuatan negara sudah dikebiri, dengan sadar atau tidak akan bertemu dengan kepentingan korporasi atau kapitalis itu sendiri, yang sesungguhnya secara alamiah menghindari segala bentuk regulasi dan kewajiban-kewajiban sosial. Seperti kita tahu bersama, mereka meyakini “CSR is bad capitalism”
Ada tiga kesimpulan yang kita dapat dari uraian di bagian awal tulisan ini :
Pertama, secara umum korporasi-korporasi para pemain pertambangan timah khususnya PT.Timah sudah lama melaksanakan program CSR PT.Timah Tbk, tetapi setelah beberapa kali mendapat protes atau perlawanan masyarakat bangka belitung tetap saja PT.Timah memainkan bantuan berkedok CSR.
Kedua, ketika korporasi-korporasi melaksanakan program CSR, pada saat yang sama mereka tidak mengubah karakter bisnisnya: masih merusak lingkungan dan menciderai hak asasi manusia, terutama hak ekososbud dan pada gilirannya menimbulkan pelanggaran hak-hak sipil. Seolah-olah dengan CSR, kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM terkompensasi.
Ketiga, pelaksanaan CSR sebagai upaya penjinakan perlawanan laten dan manifes. Banyak kasus menunjukkan, korporasi melakukan CSR untuk mendapatkan dan mengharapkan akseptasi atau mengompensasi ketidak-setujuan masyarakat dengan pendekatan berbagai bantuan yang tidak layak seperti bantuan ke media cetak, aparat penegak hukum, koperasi milik PT.Timah sendiri, begitu juga yayasan serta rumah sakit,
Keempat, umumnya program CSR/Comdev dibungkus sedemikian rupa sebagai alat untuk memperbaiki citra perusahaan di mata masyarakat internasional dan bisnis, untuk kemudian memenangkan kontestasi pemasaran. Dengan CSR, mereka merasa telah berbudi luhur mengulurkan tangan kepada masyarakat sekitar.
Kelima, sejauh ini, seperti yang dilakukan CSR PT.Timah Tbk program-program CSR disusun dan diimplementasikan secara elitis, tidak partisipatoris. Lebih lanjut, besaran dana yang dialokasikan semata-mata berdasarkan ‘kerelaan’ korporasi, bukan atas dasar negosiasi atau kesepakatan dengan stakeholders. Hal ini disebabkan regulasi yang tidak jelas (berkaitan dengan ideologi negara) dan lemahnya posisi tawar stakeholders terutama masyarakat akar rumput.
Keenam, seringkali program CSR dilakukan untuk memback-up operasi perusahaan itu sendiri. Contohnya, korporasi membangun jalan, jembatan, dan infrastruktur lain, yang dikampanyekan sebagai bagian dari kepedulian untuk membuka isolasi desa-desa tertentu, padahal untuk kelancaran transportasi proyek.
Termasuk, misalnya, kemitraan dengan mengikut-sertakan pengusaha sub-kontrak, tetapi di baliknya bersembunyi kepentingan untuk membangun ‘koalisi’ menghadapi perlawanan masyarakat. Ini, misalnya, dilakukan sangat cantik oleh berselimutkan CSR PT.Timah Tbk yang kerja bareng dinas terkait (korupsi gaya baru) yg jelas sudah ada anggaran (double) semua itu untuk menghadapi perlawanan masyarakat babel
Sikap terhadap CSR
KALAU demikian halnya, apakah CSR harus ditolak mengingat praktik-praktiknya sekadar kosmetik dan tidak berdampak terhadap kemaslahatan masyarakat sekitar? Bagaimana sikap kita terhadap CSR?
Pertanyaan ini bisa dijawab secara ideologis dan pragmatis. Bagi kaum kiri, misalnya, jawabannya sudah jelas: Tolak! Bagi mereka, ekspansi industri kapitalistik adalah sesuatu yang harus dihempang, termasuk segala tetek-bengek CSR PT.Timah Tbk
Akan tetapi, menolak CSR dalam rezim ekonomi global yang kini sudah dikuasai oleh kejayaan korporasi—di mana kekuatan negara sudah dikebiri, dengan sadar atau tidak akan bertemu dengan kepentingan korporasi atau kapitalis itu sendiri bekerjasama dengan pemda saat ini, yang sesungguhnya secara alamiah menghindari segala bentuk regulasi dan kewajiban-kewajiban sosial. Seperti kita tahu bersama, mereka meyakini “CSR is bad capitalism” atau apa yang pernah dikumandangkan Milton Friedman (1962), Dalam hal ini, golongan kiri dan kanan akan bertemu pada satu kepentingan, walau berangkat dari titik yang berbeda.
Karena itu barangkali—inilah posisi pragmatis dan ‘aman’ yang dipilih negara-negara berkembang dan negara maju welfare state, CSR diregulasi secara bertahap pada garis kontinum ‘voluntary’ dan ‘obligatory’. Mereka tidak memilih sikap frontal terhadap korporasi, tetapi mengatur secara bertahap sambil melakukan negoisasi. Singkatnya, mereka menerima sambil memperbaiki kelembagaan. Secara ideologis, hal ini dipandang kurang radikal.
Di Indonesia, misalnya, CSR/comdev telah di atur dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang mengikat perusahaan negara dan korporasi swasta seperti UU 19/2003 tentang BUMN, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, beberapa UU ini belum mengatur secara jelas sejauhmana kewajiban CSR ini harus dilakukan. Apalagi, penegakan hukum yang ada pun menjadi sesuatu yang sulit diharapkan.
lebih baik di tolak, kalau program yang sebenarnya untuk masyarakat sekitar tetapi di manfaatkan oleh perusahan PT.Timah untuk memberikan bantuan 20 unit motor Trail dan 8 unit mobil operasional polda babel serta kejaksaan tinggi, belum lagi program bantuan di berikan PT.Timah kepada pemerintah daerah berupa mobil PC/ mobil operasional lainnya kepada RSBT, ingat antara program CSR PT.Timah itu berbeda dengan Program PT.Timah bina lingkungan (pinjaman lunak masyarakat) CSR bisa di kategorikan Pemberian atau Hibah,
yang perlu menjadi sebuah cacatan CSR berbeda dengan program bina lingkungan,
Seperti terjadi di basel
Sejumlah SKPD Basel menagih janji CSR dan Program Bina Lingkungan PT Timah Tbk tahun 2014. Padahal dalam RKAB (Rencana Kerja Anggaran Biaya) PT Timah tahun 2014, dipaparkan bahwa PT Timah Tbk akan menggelontorkan dana mencapai Rp 3 M untuk CSR dan Bina Lingkungan. Hanya saja, hingga September 2014, belum terlihat realisasinya. Padahal PT Timah telah membentuk 5 kelompok kegiatan, yaitu kegiatan sarana prasanan umum, pendidikan, pelatihan dan keagamaan, pariwisata, budaya dan olah raga, kesehatan dan lingkungan hidup serta kegiatan sosial.
Kepala Dishubkominfo Kabupaten Basel Rom Rodana, mempertanyakan rencana bantuan CSR 1 unit Bus Sekolah. Padahal permintaan Bus tersebut telah disampaikan tahun 2013 lalu.
“Kita masih menunggu CSR PT Timah yang rencananya akan membantu 1 Unit Bus Sekolah. Ya, kita hanya berharap memenuhi janjinya untuk memberikan apa yang menjadi hak masyarakat. Karena bagaimanapun mobil bus sekolah masih dibutuhkan di Bangka Selatan,” tegasnya mempertanyakan.
Senada dikatakan Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahrga Basel, Suwandi, yang mengaku belum mengetahui sejauh mana bantuan CSR PT Timah yang berkaitan dengan bidang-bidang di dinasnya. Dalam RKAD, PT Timah telah menganggarkan CSR sebesar Rp 450 juta.
“Kita belum tahu CSR PT Timah ke Disparpora Basel,” kata Suwandi. Sementara, Kepala DKP Basel H Mulyono mengaku baru satu kali bantuan CSR PT Timah, yakni mesin temple kepada nelayan dan jaring nelayan yang digelontorkan.
“Ada CSR diberikan untuk nelayan Kubu dan bantuan jaring 1 kali langsung PT Timah yang menyalurkan bukan DKP,” imbuh Mulyono.
Terpisah, Kabid Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Sumindar malah tidak mengetahui adanya program CSR dan Bina Lingkungan PT Timah tahun 2014 yang nilainya mencapai Rp 3 M. Padahal RKAB, PT Timah menganggarkan CSR sebesar Rp 850 juta untuk bantuan santunan fakir miskin, bantuan sarana dan prasara sosial serta bantuan kegiatan PUDNI tahun 2014.
“Malah kita tidak tahu informasi ini, kita akan koordinasikan dengan PT Timah,” kata mantan Kabag Humas dan Protokol Setda Basel ini.
Seperti dilansir, Staf Ahli Bupati, Hattamarasyid mempertanyakan dana CSR PT Timah tahun 2014 sebesar Rp 3 M dinilai tidak tepat sasaran. Salah satunya adalah untuk bantuan mobil operasional Kejari Toboali. Menurutnya, dana CSR digelontorkan untuk membantu menggerakan perekonomian masyarakat Bangka Selatan. Selain itu, Hatta menyinggung dana CSR tahun 2013 dianggarkan sebesar Rp 6 M hanya terealisasi Rp 1,7 M.
Bila tahun 2014 dianggarkan Rp 3 M, kata Hatta kemungkinan terealisasi total Rp 6 M jika ditambahkan dengan anggaran CSR tahun 2013 lalu.
“PT Timah ini ada hal-hal yang tidak diminati dan tidak serius khusus Reklamasi dan CSR, katanya tahun 2012 lalu, masih ada sisa CSR Rp 2 M, tetapi tidak ditambahkan di CSR tahun 2013, dan realisasinyapun hanya Rp 1,7 M dari Rp 6 M, dan bantuan untuk mobil Kejari Toboali itu tidak tepat sasaran, karena dana CSR inikan digelontorkan untuk menggerakan perekonomian, silahkan dari dana sosial lainnya,” ujar Hatta.
Sumber : http://ift.tt/1GQjzAg