Konsep Trisakti Soekarno dan Revolusi Mental Jokowi untuk Kebaikan Indonesia
Dalam buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno, yang ditulis Asvi Warman Adam dan 3 rekannya, Maulwi mencontohkan ucapan Soekarno sang Proklomator Indonesia mengenai Trisakti yakni ‘’Sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat perlu dan mutlak memiliki tiga hal, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan’’. Menurut Soekarno, hanya dengan mengetahui ilmu pengetahuan modern dan mengerti sejarah kebudayaan Indonesia barulah konsep Trisakti miliknya dapat dipahami.
Menurut Maulwi “Kalau diamati dengan teliti dan mendalam tentang Trisakti yang dimaksud Soekarno, pemikiran itu akan dapat menyusun kekuatan dan pembangunan bangsa sekaligus character bulding,”. Lebih jauh, konsep Trisakti ini dapat membuat Indonesia bergaul di kancah international dengan pernuh harga diri dan menghormati kedaulatan masing-masing. Selain itu, Indonesia diyakini dapat merencanakan dan menyusun pola kerja sama ekonomi dengan negara-negara industri besar dengan percaya diri dan saling menguntungkan.
Tentang membangun karakter rakyat Indonesia, Soekarno mengaku bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, bangsa Indonesia saat itu baru saja merdeka dari penjajahan Belanda selama tiga setengah abad dan tiga setengah tahun oleh Jepang. Hal ini membuat bangsa Indonesia (saat itu) sudah terbiasa sebagai bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lainnya. “Akibat perjuangan melawan Belanda, banyak terjadi kerusakan material, mental, serta moral. Memperbaiki kerusakan mental dan moral lebih sukar daripada memperbaiki kerusakan material,” kata Soekarno saat itu. “Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. Perjalanan rakyat yang berjuang tidak pernah berhenti. Demikian penjelasan Bung Karno pada saya,” ucap Maulwi.
Sekarang ini, pembangunan karakter bangsa menjadi kebutuhan sangat urgen dalam menancapkan nilai dan jati diri bangsa bagi generasi masa depan sehingga mempunyai semangat dan ikatan kuat membangun Indonesia. Dengan karakter itulah, generasi mendatang bisa melanjutkan semangat perjuangan para pendiri bangsa. Ini sangat penting karena kondisi bangsa Indonesia sedang tercabik dengan berbagai ulah pihak yang merusak karakter bangsa. Tidak sedikit kaum terpelajar yang justru menjadi otak lahirnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mengutip salah seorang cendekiawan di Indonesia, Franz Magnis Suseno menilai Indonesia perlu membangun kembali karakter bangsa mengacu Pancasila. Sebab, karakter bangsa dengan manusia beradab, sopan, toleran, bersemangat kebersamaan, Bhinneka Tunggal Ika, rela berkorban bagi bangsa, dan berkemanusiaan luhur memudar. Kian banyak orang tak beradab, sombong, intoleran, dan penuh kebencian. Banyak orang cepat bereaksi dengan kekerasan, eksklusif, dan loyo nasionalisme. Indonesia terancam, terutama oleh budaya konsumerisme, hedonis, ketidakadilan sosial, dan intoleransi.
Lebih lanjut, Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengatakan bahwa untuk membangun kembali karakter kebangsaan, Bangsa Indonesia harus kembali mengembangkan nilai-nilai ideal Pancasila sebagai karakter bangsa. Untuk itu, penyelenggara negara dan warga mesti menyosialisasikan dasar negara secara lebih kreatif sehingga menghasilkan pikiran, sikap, dan tindakan sesuai kelima sila itu. Dalam posisi ini, maka negara wajib membangun politik kewarganegraan an lewat penegakan hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga. Selain itu, kembangkan pula politik kewarganegaraan baru yang disokong oleh masyarakat dengan memahami Pancasila secara mandiri.
Setidaknya secercah harapan mulai terbuka pada usaha membangun kembali karakter bangsa ketika Presiden Terpilih Joko Widodo menyatakan bahwa revolusi mental diperlukan dalam merubah nasib dan karakter bangsa Indonesia ke depan. Menurutnya; selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.
Meski gagasan itu terasa masih mengambang, namun revolusi mental bila dilaksanakan secara konsisten dapat membawa membangun karakter bangsa di tengah kemerosotan demokrasi Indonesia saat ini. Revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terdahulu. Pemerintah nantinya tidak secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren sebagai platform, karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.
Dalam implementasinya, pembangunan karakter berbasis revolusi mental ini tidak boleh dilakukan dengan pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsir, negara yang melakukan. Cara terbaik mesti dilakukan dengan pendekatan horizontal dalam bingkai semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi berbagai kelompok sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha.
Sumber : http://ift.tt/1sFs8YE
Menurut Maulwi “Kalau diamati dengan teliti dan mendalam tentang Trisakti yang dimaksud Soekarno, pemikiran itu akan dapat menyusun kekuatan dan pembangunan bangsa sekaligus character bulding,”. Lebih jauh, konsep Trisakti ini dapat membuat Indonesia bergaul di kancah international dengan pernuh harga diri dan menghormati kedaulatan masing-masing. Selain itu, Indonesia diyakini dapat merencanakan dan menyusun pola kerja sama ekonomi dengan negara-negara industri besar dengan percaya diri dan saling menguntungkan.
Tentang membangun karakter rakyat Indonesia, Soekarno mengaku bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, bangsa Indonesia saat itu baru saja merdeka dari penjajahan Belanda selama tiga setengah abad dan tiga setengah tahun oleh Jepang. Hal ini membuat bangsa Indonesia (saat itu) sudah terbiasa sebagai bangsa kuli di antara bangsa-bangsa lainnya. “Akibat perjuangan melawan Belanda, banyak terjadi kerusakan material, mental, serta moral. Memperbaiki kerusakan mental dan moral lebih sukar daripada memperbaiki kerusakan material,” kata Soekarno saat itu. “Revolusi adalah suatu hal yang harus dijalankan dengan aksimu dan idemu sendiri. Perjalanan rakyat yang berjuang tidak pernah berhenti. Demikian penjelasan Bung Karno pada saya,” ucap Maulwi.
Sekarang ini, pembangunan karakter bangsa menjadi kebutuhan sangat urgen dalam menancapkan nilai dan jati diri bangsa bagi generasi masa depan sehingga mempunyai semangat dan ikatan kuat membangun Indonesia. Dengan karakter itulah, generasi mendatang bisa melanjutkan semangat perjuangan para pendiri bangsa. Ini sangat penting karena kondisi bangsa Indonesia sedang tercabik dengan berbagai ulah pihak yang merusak karakter bangsa. Tidak sedikit kaum terpelajar yang justru menjadi otak lahirnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Mengutip salah seorang cendekiawan di Indonesia, Franz Magnis Suseno menilai Indonesia perlu membangun kembali karakter bangsa mengacu Pancasila. Sebab, karakter bangsa dengan manusia beradab, sopan, toleran, bersemangat kebersamaan, Bhinneka Tunggal Ika, rela berkorban bagi bangsa, dan berkemanusiaan luhur memudar. Kian banyak orang tak beradab, sombong, intoleran, dan penuh kebencian. Banyak orang cepat bereaksi dengan kekerasan, eksklusif, dan loyo nasionalisme. Indonesia terancam, terutama oleh budaya konsumerisme, hedonis, ketidakadilan sosial, dan intoleransi.
Lebih lanjut, Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara mengatakan bahwa untuk membangun kembali karakter kebangsaan, Bangsa Indonesia harus kembali mengembangkan nilai-nilai ideal Pancasila sebagai karakter bangsa. Untuk itu, penyelenggara negara dan warga mesti menyosialisasikan dasar negara secara lebih kreatif sehingga menghasilkan pikiran, sikap, dan tindakan sesuai kelima sila itu. Dalam posisi ini, maka negara wajib membangun politik kewarganegraan an lewat penegakan hukum yang mengatur hak dan kewajiban warga. Selain itu, kembangkan pula politik kewarganegaraan baru yang disokong oleh masyarakat dengan memahami Pancasila secara mandiri.
Setidaknya secercah harapan mulai terbuka pada usaha membangun kembali karakter bangsa ketika Presiden Terpilih Joko Widodo menyatakan bahwa revolusi mental diperlukan dalam merubah nasib dan karakter bangsa Indonesia ke depan. Menurutnya; selama 16 tahun menjalankan reformasi, kita hanya mencapai kemajuan sebatas kelembagaan. Pembangunan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dari manusia yang menjalankan sistem sehingga nation building tak mengantarkan Indonesia pada cita-citanya.
Meski gagasan itu terasa masih mengambang, namun revolusi mental bila dilaksanakan secara konsisten dapat membawa membangun karakter bangsa di tengah kemerosotan demokrasi Indonesia saat ini. Revolusi mental menuntut perombakan sistem pendidikan nasional secara fundamental, total, dan gradual. Pendidikan harus dinomorsatukan sebagai episentrum perekayasaan kemanusiaan dalam gerak sentrifugal pencapaian tujuan kenegaraan, seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945.
Dengan platform Revolusi Mental, pemerintah kelak tak sekadar meneruskan apa yang ada, tapi juga berani mengoreksi kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah terdahulu. Pemerintah nantinya tidak secara instan menjadikan berbagai gagasan yang sepintas tampak keren sebagai platform, karena substansinya tak koheren, bahkan kontra produktif dengan ide revolusi mental yang diinginkan.
Dalam implementasinya, pembangunan karakter berbasis revolusi mental ini tidak boleh dilakukan dengan pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsir, negara yang melakukan. Cara terbaik mesti dilakukan dengan pendekatan horizontal dalam bingkai semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi berbagai kelompok sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha.
Sumber : http://ift.tt/1sFs8YE