Intelektual Pemamah dan Pengamat Politik Melacur
Momentum politik 2014, memuntahkan sejumlah momok yang menggelikan. Sederet momok yang berjuntai itu, diantaranya dekadensi para pengamat politik berlabel kampus (Universitas). Profesi keilmuan yang dimiliki, dipaksa masuk ke hutan belantara politik, yang tak saja sarat kepentingan, tapi juga menjerumuskan para ilmuan ke dalam mulut politisi yang bermodal tambun. Maka tak heran perspektif dilacur, integritas keilmuan digadai dan ditelanjangi kehadapan publik. Naluri politik hewani dipakai, apa saja dilumatnya.
Sebut saja, Anis Baswedan, Ikrar Nusa Bakti, Burhanudin Muhtadi, Syaiful MUzani, Asvi Warman-. Mereka ada di deretan pengamat yang tak saja mengamat, tapi juga berafiliasi pada faksi-faksi politik. Objektifikasi keilmuan yang mestinya independen, dijadikan mesin penghantam dan penggilas kubu politik seberang berdasarkan orderan politik. Persis penjual pakaian bekas, banyak ocehan tapi yang dijualnya “rombeng”
Huru-hara quick count dan survei politik pada pemilu 2014, adalah hantu balao bermotif riset ilmiah yang tak saja merobohkan tatanan etika politik dan demokrasi, tapi juga merusak mind set publik. Akibat kecanggihan melacuri profesi keilmuan, mind set publik dirusaki dengan analisa dan propaganda jahat, energi postif publik diracuni oleh jentik-jentik berbahaya yang terus dipompanya ke mass media yang juga menjadi salah satu varian kepelacuran. Media melacur dan ilmuan atau pengamat politik melacur kompak dan setali tiga uang menggadaikan nalar keilmuan. Lalu kita kembali menakar, dan mengurai, sejauh mana kepelacuran itu dilakukan? Lalu mari kita menyimaknya secara seksama, lakon momok para cerdik pandai itu :
Akademisi dan Pengamat politik (Anis Baswedan)
Kehadirannya di atmosfer politik, tadinya dikira menjadi bagian inti proses moralisasi politik. Tentu dengan modal moral keilmuannya. Namun tak dinyana, karakter pembelot dan pengingkar ideologi mengental kuat pada dirinya.
Sejak Baswedan mengikuti konvensi Capres Partai demokrat, menumbuhkan convidance publik, bahwa kualifikasinya sebagai intelektual muda, mendapat legitimasi publik yang kuat pada proses konvensi tersebut. Namun seketika ia meloncat ke kubuh Jokowi, kita lantas tercengang, ternyata ia tak lebih dari oportunis yang mudah getas dan mengikuti arus kuat politik, disaat opini dan survei politik mendudukkan Jokowi di atas angin. Lantas kita berkesimpulan, ia politisi instan dan penikmat. Padahal sebelumnya, Rektor Universitas Paramadina itu menjadi salah satu otak penolak Jokowi dengan isu-isu esktrem SARA. “Statemennya yang terkenal, bahaya ideologi Merah dan Non Muslim di Belakang Jokowi .” Statemen Anis ini mengemuka ketika lagi ramainya nama Jokowi ke permukaan publik dalam bursa kepemimpinan nasional. Namun teramat memalukan, ketika nama Jokowi tak dapat dilawan siapapun, tiba-tiba Anis berbalik mendukung Jokowi di garis terdepan.
Namun pernyataan Anis kental beraroma SARA itu dapat dimaklumi,karena basis sosial Anis adalah organissai mahasiswa (HMI-MPO) yang jelas-jelas menolak keras asas Pancasila di era orde baru berkuasa.
Terlepas dari anasir-anasir makar dan subversisme tersebut sebagai ranjau otoritarian Soeharto, penolakan Pancasila oleh organisasi tempat Anis dibesarkan (HMI-MPO), adalah akar watak kenapa Anis begitu ekstrem menolak Ideologi merah dan Non Muslim . Ideologi yang ditolaknya mentah-mentah sebagai alasan menolak Jokowi, lalu kini bertekuk dihadapan mantan walikota Solo itu dan menjadi penjilat sejati.
Dengan latar belakangnya demikian, mestinya kontestan konvensi PD itu, konsisten dengan ideologi yang diperjuangkannya (menolak ideologi merah dan non muslim) . Namun apa lacur, kekuasaan selalu memberikan godaan nyaman yang bisa menekuk siapapun, termasuk Anis yang ekstrimis itu. Lantas kita tak perlu heran, bila menempatkan Anis dalam taksonomi inetelektual pemamah dan pengamat melacur, adalah suatu diverensiasi yang tepat. Agar publik tidak terkecoh, apalagi termakan oleh bungkusan-bungkusan kemunafikan, yang acap kali dikemas dalam bentuk moral politik yang disuguhkan ke publik tanpa dosa.
Dosen dan Pengamat politik (Ikrar Nusa Bakti) :
Kita mengenalnya sebagai pengamat yang kritis terhadap kekuasaan. Kritikannya yang pedas, selalu menohok dan menghujam batin penguasa. Dulunya ia pengamat yang mampu menjaga jarak dengan kekuasaan. Maka layaknya ia disebut salah satu campium kritikus dan pengamat nasional, selain analisis yang tajam terhadap iklim politik tanah air.
Kita bahkan berharap, ilmuan tajam seperti ini, memiliki moral kelimuan yang kuat, dan pantang menceburkan dirinya dalam kubangan godaan kekuasaan, apappun bentuknya. Namun di pemilu 2014, seluruh opini terhadapnya luruh, ketika dengan begitu gilanya peneliti LIPI ini memajang mukanya di tv sebagai pendukung berat Jokowi. Ia masuk ke dalam gerombolan intelektual kelaparan, lantas independensinya tercerabut dan dilacur. Wajah Ikrar muncul di tv, ketika membuntuti Jokowi-JK dalam proses pengambilan nomor urut capres di KPU. Ia PNS dan pejabat structural, dan dengan segala kenaifannya dan tanpa beban berkubang dalam faksi politik. Dan rusaklah ranah keilmuan kita, bila ilmuan tak lagi independen dan mulai kabur orientasi keilmuannya.
Dosen dan Peneliti (Burhanudin Muhtadi) :
Mantan Mahasiswa Tafsir Hadits UIN Ciputat yang kini menggawangi Lembaga Survei Indikator politik Indonesia ini, turut memperkaya daftar ilmuan instan pemamah di Indonesia. Dari latar belakang keilmuannya sebagai mahasiswa Tafsir hadits, sejumlah kalangan meragukan legitimasi keilmuannya sebagai direktur riset politik.
Maka ketika ia membuat pernyataan controversial, bahwa bila Jokowi-JK kalah, maka KPU melakukan kesalahan penghitungan, adalah suatu fakta meyakinkan, betapa alumnus tafsir hadits ini tak paham statistik dan tendensius. Pasalnya, quick count yang sifatnya predictable, dipaksa_mutlakan dengan real count KPU.
Dua hitungan dengan pendekatan yang berbeda, tapi ia nekat mengklaim atau menjustifikasi KPU. Celakanya lagi, di balik pernyataan tendensiusnya mengatasnamakan lembaga survey bikinannya (Indikator Politik Indonesia), ternyata yang membiayai cuick count IPI adalah salah satu media partisan Jokowi (Metro TV) . Pernyataan pernyataan tendensiusnya juga menyebabkan dirinya oleh sebahagian kalangan menyebutnya sebagai provokator dan takabur.
Betapa tak disebutnya sebagai provokator ulung, demi proyek cuick countnya itu, ia nekat mendidihkan ketegangan politik yang kala itu sedang membuncahnya. Sebagai ilmuan, sejatinya pernyataan pongah dan menghasut itu tak diucapnya. Tapi apa lacur, bayaran dan keuntungan, menghelanya sebegitu nekat.
Akibat ulah keblinger peneliti pemburu rente ini, ia dan lembaganya dipertanyakan integritas keilmuannya. Oleh publik, bahkan kalangan akademisi (forum rektor) menyebut, lebaga survei partisan Jokowi bikinan dosen UIN itu sebatas menjadi dagangan mengais rejeki pemilu 2014, meski integritas nilai-nilai keilmuan dilacurinya habis-habisan.
Dosen dan Peneliti (Syaiful Mujani) :
Setali tiga uang dengan Burhanudin Muhtadi, karena Keserakahan dan ketamakannya, mahasiswa Tafsir hadits yang pernah berkolaborasi dengan ratu rasuah (Hartati Murdaya) ini pernah dilaporkan ke kementrian Agama dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, pasalnya Saiful adalah pegawai negeri sipil (PNS) tepatnya sebagai dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, namun terlibat aktif dalam kegiatan politik praktis dan menjadi juru sogok salah satu capres pada pemilu 2014. Kegiatan kampanye untuk memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla yang digelar atas inisiatif dirinya berbuah pelanggaran peraturan yang berlaku.
Pada pilpres 2014, Saiful terbukti membagikan uang kepada warga, membayar gedung pertemuan dan menanggung seluruh dana untuk kegiatan tersebut. Sementara yang tak kalah penting adalah Saiful membagi-bagikan atribut kampanye untuk pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla.
Kegiatan yang dilakukan Saiful Mujani jelas merupakan bentuk kampanye. Hal ini dianggap melanggar ketentuan yang berlaku karena Saiful tercatat sebagai PNS di UIN Syarif Hidayatullah. Selain itu Saiful juga dianggap melanggar kode etik dan fatsun di bidang survey politik, karena Saiful adalah pemilik sekaligus pendiri Saiful Mujani Research & Consulting, Pendiri Indikator Politik Indonesia dan pernah memimpin di Lembaga Survey Indonesia.
Sebagai PNS dan dosen, seharusnya Saiful mengerti peraturan. Hal mana seorang pegawai negeri sipil tidak boleh melakukan kampanye untuk kemenangan pasangan tertentu dalam pemilu, walau tetap memiliki hak pilih. Namun keserakahan selalu membuat orang tak pernah hilang dahaga dan tak pernah kenyang.
Peneliti Senior LIPI (Asvi Warman Adam) :
Meski peniliti senior di LIPI tapi tak dikenal publik, menyebabkan Asvi benar-benar menggunakan kesempatan politik ini. Masa dimana nama Jokowi sedang di atap opini dan berita media. Sejumlah pengamat ayam sayur seperti Asvi numbrung tenar. Sebab dimusim intelektual melacur ini, semakin terkenal semakin besar bayaran. Maka semua mereka (intelektual ayam sayur), ramai-ramai menjadi gila dan narsis. Lagi pula, dimusim politik Jokowisme ini, semu orang termasuk Asvi, ramai-ramai mendeklarasikan diri sebagai loyalis Jokowi. Paling tidak pernyataan-pernyataannya menggambarkan itu
Tak ketinggalan Asvi dengan komentar-komentar nylenehnya; bubarkan koalisi merah putih ! Suatu pernyataan profokatif dan tak menggambarkan wibawa keilmuan seorang peneliti senior. Lagi pula apa manfaatnya komentar semacam itu? Pernyataan Asvi secara telak mengkonfirmasi kita, bahwa ia tak melek konstitusi, bahwa kebebasan berkumpul dan berserikat adalah hak setiap warga negara, apapun bentuknya. Selama itu tidak mencederai Negara dan konstitusi.
Sebagai Ilmuan senior, mestinya Asvi lebih objektif dan wise dalam komentarnya di media tentang konstelasi politik mutakhir. Ia mampu membikin demarkasi, antara profesi dan komentar berimpresi sainstik dan mana bumbungan dahaga ingin tenar.
Lagi pula di LIPI asvi adalah sejarawan. Cukuplah ia membatasi diri pada content sastra dan sejarah. Karena kedua bidang inilah basis akademik Asvi. Merambah sebagai analis politik bukan membuatnya tajam dalam memprediksi kemungkinan-kemungkinan kejadian politik nasional ke publik, atau mentransformasikan sesuatu yang postif ke publik, malah sebaliknya, tak beda jauh sebagai provokator jalanan. []
Sumber : http://ift.tt/1p7FUhv