Suara Warga

Badai Informasi Politik dan Propaganda Putih

Artikel terkait : Badai Informasi Politik dan Propaganda Putih

Sepuluh menit aktivitas online yang kita lakukan, sebanding dengan seratus tahun waktu yang dibutuhkan oleh manusia era lampau (dalam menyimak limpahan informasi yang begitu menderas). Tentu hitungan ini semata imajiner, sama persis dengan garis Wallacea yang dibayangkan membelah Indonesia Barat dengan Indonesia Timur (dalam perbedaan flora dan fauna). Atau seperti garis ekuator yang kerap kita sebut garis khatulistiwa.

Namun satu dua alasan pasti bisa diterima. Bahwa, pertama, ada bukti-bukti sahih bahwa dahulu begitu panjang proses pertukaran informasi. Berita tentang keberhasilan Marcopolo “menemukan” Benua Amerika bisa sampai ke kuping Ratu Issabel dan Raja Ferdinand di Spanyol memakan waktu enam bulan. Pun kejadian-kejadian lain, yang memakan proses nan lama, untuk menjadi informasi yang tersebar luas.

Lalu yang kedua, berita atau informasi juga sulit untuk tiba secara memuaskan. Sepucuk surat yang kucel, selembar noktah yang dibawa kurir yang kelelahan berkuda, sama sekali terbatas dalam menampilkan informasi.

Hari ini? Bukan hanya berita atau informasi tersampaikan real time (saat itu juga, detik per detik). Melainkan lengkap dengan gambar, suara, dan kreasi. Malah disertai dengan segala tafsir, pengungkapan detil, temuan, dugaan, dan debat peristiwa. Artinya: tiap-tiap kabar mengalami reproduksi tanpa henti. Lebih-lebih dengan bantuan media sosial, di mana setiap momen atau peristiwa, “digoreng” habis-habisan. Terjadilah lautan informasi. Lebih tepat: badai informasi.

Jadi benarlah asumsi sepuluh menit aktivitas online kita (dalam menelusur samudera informasi di dunia maya) sebanding dengan seratus tahun waktu yang dibutuhkan manusia masa lalu dalam memperkaya informasi.

Tapi hukum alam mengatakan: kuantitas tak selalu paralel dengan kualitas.

Hari ini ratusan motivator bergerak aktif menguar-uarkan bahasa penyemangat. Mereka berkhutbah di televisi. Berkicau di twitter. Beroperasi via teknologi periklanan. Berjualan kata-kata indah dalam buku dan majalah. Tetapi, cukup sulit cari bukti bahwa masyarakat yang menyimak bahasa penyemangat mereka menjadi ikut-ikutan optimis (dalam menghadapi hidup).

Beda dengan dahulu. Satu dua kata sederhana saja, bisa membakar energi psikologis massa. Ini yang terjadi dengan istilah: Merdeka Atoe Mati!

Kini telah terjadi pasar informasi sampah atau kacangan, the market for lemon. Belantara informasi tidak menambah kepastian, bahkan makin membingungkan. Luberan informasi berlangsung timpang. Plus dengan hadirnya rekayasa operasi komunikasi, yang penuh muslihat, perangkap, dan banal (dangkal).

Contoh paling fenomenal atas silang sengkarut informasi itu ada di dunia politik indonesia mutakhir. Barangkali ini adalah peneguhan asumsi dari Max Weber, bahwa manusia adalah mahluk yang terperangkap dalam jaringan makna. Kita, di Indonesia hari-hari belakangan ini, memang telah terjerat dalam jaring-jaring makna politik yang tak tentu. Ada provokasi. Ada intimidasi. Ada interogasi. Ada konfrontasi. Tapi sedikit saja edukasi…

Badai informasi (politik) memang tak bisa kita hindari dan ini terjadi niscaya. Seiring sifat media yang omnipresent (ada di mana-mana). Hanya saja, kejadian yang sesungguhnya tak murni alamiah. Melainkan bisa saja by design. Deru informasi yang menghumbalang pikiran kita dari kanan dan kiri itu, bisa bersumber dari sisi kelam kekuasaan. Yang ingin menghegemoni. Seraya menaklukan kesadaran kritis agar berubah menjadi pengikut pasif.

Kebetulan pula, politik telah lama berkolaborasi dengan (praktek) media massa untuk menggiring opini publik (pikiran khalayak), via metode propaganda.

Praktek propaganda adalah puncak aktivitas penggelontoran informasi dahsyat, dengan melakukan strategi pengorganisasian alat, metode, saluran, dengan sasaran yang sangat spesifik, yaitu memenuhi keinginan para propagandis. Propaganda beda dengan iklan, agenda media massa, publisitas, kampanye politik, atau praktek Humas. Lantaran propaganda tak segan-segan menjungkirbalikkan kebenaran. Persis dengan nasehat Joseph Goebbels, propagandis kaliber di tubuh rezim Nazi Hitler, bahwa: kebohongan dikali seribu sama dengan kebenaran…

Propaganda merasuk dengan trik-trik beragam, dari yang paling liar hingga yang paling lembut. Berlangsung terus menerus, bergerak di ruang publik, ruang pribadi, hingga mempengaruhi ruang “alam bahwah sadar” jiwa manusia. Propaganda melibatkan segala macam piranti penyampai pesan yang pernah dikenal manusia (dari media massa umum, media massa khusus, media luar ruang, dan juga media online seperti saat ini). Sumber pesan propaganda juga datang dari pelbagai pihak, namun bersuara sama.

Intinya: propaganda adalah ikhtiar keras luar biasa dalam menonjolkan pesan tertentu seraya menyingkirkan pesan lain. Propaganda akan menjulang menjadi kemenangan gemilang, manakala terjadi ketidakpastian, kepanikan, kebingungan, dan kebimbangan massa.

Rasa-rasanya, praktek propaganda tengah berlangsung intens saat ini. Terjadi totalitas ekspose atas hal-hal khusus dalam wacana politik kita. Badai informasi politik seolah dibuat menjadi membingungkan, membuat bimbang, dan memancing rasa panik. Memang, praktek nyata yang berlangsung tak sama persis dengan metode propaganda zaman dulu, yaitu propaganda hitam (murni menjual kebohongan, dan berdasarkan pada kekuatan organisasi bersenjata).

Praktek propganda hari ini adalah propaganda putih. Yakni: menggenggam anasir kebenaran, namun secara luar biasa mematikan potensi kebenaran dari pihak lain. Propaganda putih, pada akhirnya adalah penggelontoran isu politik yang ada titik-titik kebenarannya, namun ditelikung menjadi kebenaran sepihak. Begitulah…




Sumber : http://ift.tt/1w31rOD

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz