Tiga Kekalahan Beruntun, Prabowo Dibayangi Kekalahan Keempat
Dunia politik adalah panggung penuh intrik. Trik-trik politik bisa melambungkan seseorang menuju bintang. Bisa pula terjun bebas menjungkalkan ke bumi. Kawan jadi lawan atau sebaliknya, begitu juga kalah dan menang tidak terhindari.
Indonesia memiliki panggung politik yang paling dinamis di dunia. Sayangnya tidak bersahabat dengan ambisi seorang politikus bernama Prabowo Subianto. Dalam tahun 2014 ini, bekas menantu mantan Presiden Indonesia ini bergulat keras dengan segenap kemampuan untuk menaklukannya.
Tidak tanggung-tanggung tiga kekalahan harus di telan Prabowo. Tiga kekalahan itu terjadi hanya dalam satu tahun. Bahkan jarak waktu antara satu kekalahan dengan kekalahan berikutnya hanya dalam hitungan bulan. Waktu yang sangat singkat untuk sebuah cita-cita politik yang diperjuangkan dalam waktu yang relatif panjang.
Kekalahan pertama Prabowo terjadi pada bulan Maret 2014. Adalah Megawati Soekarno Putri yang menggagalkan keinginan Prabowo untuk menjadikan PDI Perjuangan sebagai kendaraan politiknya pada Pilpres 2014. Padahal Prabowo sudah merencanakan sejak tahun 2009.
Pada Pilpres tahun itu, Prabowo ‘mengalah’ untuk menang. Prabowo yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai presiden bersedia menjadi calon wakil presiden dari Megawati. Namun dengan syarat, pada Pilpres 2014 Megawati harus mendukung Prabowo sebagai calon presiden.
Syarat itu dituliskan dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis. Namun perjanjian politik itu tidak mempunyai kekuatan saat Megawati menolak untuk mendukung Prabowo pada Pilpres 2014. Alhasil PDIP mengusung Joko Widodo sebagai Capres untuk berkompetisi dalam Pilpres 2014.
Kekalahan kedua Prabowo terjadi pada 9 Juli 2014. Joko Widodo berhasil mengungguli perolehan suara dalam Pilpres. Fakta ini tentu sangat menyakitkan. Karena Jokowi merupakan salah satu sosok yang diharapkan bisa mendongkrak elektabilitas Prabowo menghadapi Pilpres. Makanya dalam Pilgub Jakarta 2012 memberikan dukungan secara total kepada Jokowi. Namun siapa sangka, Jokowi menjadi rival dan mengkandaskan hasrat Prabowo menjadi RI 1.
Kekalahan keempat Prabowo terjadi diawal bulan September ini. Lagi-lagi, sosok pendongkrak elektabilitasnya yang berbalik arah menjadi bumerang karir politik Prabowo. Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) meninggalkan partai besutan Prabowo yakni Gerindra. Padahal Ahok sebentar lagi menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi.
Yang menyesakan, keluarnya Ahok dari partai kepala garuda itu karena menentang niat Prabowo dan koalisi merah putih (Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP dan PKS). Ya, Ahok mundur dari Gerindra karena menolak RUU Pilkada pemilihan Kepala daerah melalui DPRD yang diperjuangkan Prabowo cs.
Jika RUU ini digolkan DPR, Gerindra dan partai-partai dalam koalisi merah putih bisa menguasai Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Jabatan di daerah bisa dibagi antar sesama partai koalisi. Ini tentu akan menjadi modal bagi Gerindra dan partai koalisi merah putih untuk menghadapi Pemilu 2019. Karena untuk pemerintah pusat telah dikuasai PDIP dan partai-partai pendukung Jokowi.
Memang, kekalahan ketiga Prabowo ini belum final. Namun aksi para bupati dan walikota se-Indonesia yang telah menyatakan penolakan RUU Pemilihan melalui DPRD bisa mengacaukan konsentrasi koalisi merah putih. Bukan tidak mungkin, RUU gagal disahkan dan koalisi merah putih buyar karena pindah mendukung Jokowi.
Jika ada partai koalisi merah putih yang beralih ke Jokowi, maka kekalahan keempat Prabowo tidak terbendung.
Mungkinkah kekalahan keempat akan terjadi pada Prabowo? Dalam dunia politik, semuanya mungkin.
Karena, dunia politik adalah panggung penuh intrik. Trik-trik politik bisa melambungkan seseorang menuju bintang. Bisa pula terjun bebas menjungkalkan ke bumi. Kawan jadi lawan atau sebaliknya, begitu juga kalah dan menang tidak terhindari.
Sumber : http://ift.tt/YF3A6H
Indonesia memiliki panggung politik yang paling dinamis di dunia. Sayangnya tidak bersahabat dengan ambisi seorang politikus bernama Prabowo Subianto. Dalam tahun 2014 ini, bekas menantu mantan Presiden Indonesia ini bergulat keras dengan segenap kemampuan untuk menaklukannya.
Tidak tanggung-tanggung tiga kekalahan harus di telan Prabowo. Tiga kekalahan itu terjadi hanya dalam satu tahun. Bahkan jarak waktu antara satu kekalahan dengan kekalahan berikutnya hanya dalam hitungan bulan. Waktu yang sangat singkat untuk sebuah cita-cita politik yang diperjuangkan dalam waktu yang relatif panjang.
Kekalahan pertama Prabowo terjadi pada bulan Maret 2014. Adalah Megawati Soekarno Putri yang menggagalkan keinginan Prabowo untuk menjadikan PDI Perjuangan sebagai kendaraan politiknya pada Pilpres 2014. Padahal Prabowo sudah merencanakan sejak tahun 2009.
Pada Pilpres tahun itu, Prabowo ‘mengalah’ untuk menang. Prabowo yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai presiden bersedia menjadi calon wakil presiden dari Megawati. Namun dengan syarat, pada Pilpres 2014 Megawati harus mendukung Prabowo sebagai calon presiden.
Syarat itu dituliskan dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Batu Tulis. Namun perjanjian politik itu tidak mempunyai kekuatan saat Megawati menolak untuk mendukung Prabowo pada Pilpres 2014. Alhasil PDIP mengusung Joko Widodo sebagai Capres untuk berkompetisi dalam Pilpres 2014.
Kekalahan kedua Prabowo terjadi pada 9 Juli 2014. Joko Widodo berhasil mengungguli perolehan suara dalam Pilpres. Fakta ini tentu sangat menyakitkan. Karena Jokowi merupakan salah satu sosok yang diharapkan bisa mendongkrak elektabilitas Prabowo menghadapi Pilpres. Makanya dalam Pilgub Jakarta 2012 memberikan dukungan secara total kepada Jokowi. Namun siapa sangka, Jokowi menjadi rival dan mengkandaskan hasrat Prabowo menjadi RI 1.
Kekalahan keempat Prabowo terjadi diawal bulan September ini. Lagi-lagi, sosok pendongkrak elektabilitasnya yang berbalik arah menjadi bumerang karir politik Prabowo. Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) meninggalkan partai besutan Prabowo yakni Gerindra. Padahal Ahok sebentar lagi menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi.
Yang menyesakan, keluarnya Ahok dari partai kepala garuda itu karena menentang niat Prabowo dan koalisi merah putih (Golkar, Gerindra, Demokrat, PPP dan PKS). Ya, Ahok mundur dari Gerindra karena menolak RUU Pilkada pemilihan Kepala daerah melalui DPRD yang diperjuangkan Prabowo cs.
Jika RUU ini digolkan DPR, Gerindra dan partai-partai dalam koalisi merah putih bisa menguasai Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia. Jabatan di daerah bisa dibagi antar sesama partai koalisi. Ini tentu akan menjadi modal bagi Gerindra dan partai koalisi merah putih untuk menghadapi Pemilu 2019. Karena untuk pemerintah pusat telah dikuasai PDIP dan partai-partai pendukung Jokowi.
Memang, kekalahan ketiga Prabowo ini belum final. Namun aksi para bupati dan walikota se-Indonesia yang telah menyatakan penolakan RUU Pemilihan melalui DPRD bisa mengacaukan konsentrasi koalisi merah putih. Bukan tidak mungkin, RUU gagal disahkan dan koalisi merah putih buyar karena pindah mendukung Jokowi.
Jika ada partai koalisi merah putih yang beralih ke Jokowi, maka kekalahan keempat Prabowo tidak terbendung.
Mungkinkah kekalahan keempat akan terjadi pada Prabowo? Dalam dunia politik, semuanya mungkin.
Karena, dunia politik adalah panggung penuh intrik. Trik-trik politik bisa melambungkan seseorang menuju bintang. Bisa pula terjun bebas menjungkalkan ke bumi. Kawan jadi lawan atau sebaliknya, begitu juga kalah dan menang tidak terhindari.
Sumber : http://ift.tt/YF3A6H