Suara Warga

Setelah UU MD3, Revisi UU Pilkada, Terakhir Amandemen UUD

Artikel terkait : Setelah UU MD3, Revisi UU Pilkada, Terakhir Amandemen UUD

Setelah UU MD3, lalu revisi UU pilkada menjadi dipilih oleh DPRD, maka kita pantas menduga ke sebelah mana arah berikutnya yang sedang dituju oleh kelompok pengusul ini.

Beberapa alasan untuk mengubah pilkada dari dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih oleh DPRD adalah penghematan biaya dan waktu, mengurangi potensi konflik horizontal, dan karena pemilihan langsung oleh rakyat tidak sesuai dengan Pancasila (mungkin maksudnya sila keempat). Telisik lebih dalam, anda akan menemukan semua itu bukan alasan sesungguhnya. Terdapat suatu “grand design” tentang akan bagaimana Negara dan bangsa ini di masa depan.

Alasan biaya yang mereka sebutkan itu adalah absurd. Sebab jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, itu hanya mengubah arah ke mana uang harus dialirkan oleh calon kepala daerah. Dari rakyat menjadi ke anggota DPRD. Pengalaman sejarah kita menunjukkan seperti itu, dan hingga kini masih seperti itu. Transaksi antara DPRD dan calon kepala daerah bukan hanya tentang sejumlah uang lagi, tetapi juga berkaitan dengan pembagian proyek-proyek yang dibiayai oleh APBN/APBD. Alasan tentang biaya itu adalah kemunafikan.

Alasan untuk mengurangi potensi konflik horizontal itu sangat naïf dan dibuat-buat. Sudah beberapa kali terbukti bahwa mayoritas rakyat sudah dewasa menyikapi pilkada. Jika ada percikan-percikan konflik selama musim kampanye, justru hal itu dipicu oleh para calon (Partai) yang saling memfitnah. Terbukti juga bahwa begitu hari pencoblosan berlalu, rakyat kembali mencangkul di sawah bersama-sama, bersama-sama di laut menangkap ikan, bersama-sama di kebun memetik kopi. Tetapi para calon dan Partai pengusungnya masih sibuk meributkan rekapitulasi perhitungan suara. Pilpres yang baru berlalu sangat jelas menunjukkan siapa sesungguhnya yang tidak dewasa itu.

Alasan bahwa pilkada langsung oleh rakyat adalah tidak sesuai dengan pancasila, inilah alasan yang dapat menunjukkan ke mana arah yang dituju oleh kelompok ini.

Di masa orde baru tentu belum kita lupakan bagaimana gubernur, bupati dan walikota yang dipilih langsung oleh DPRD. Semua kepala daerah berfungsi hanya sebagai perpanjangan tangan dari pusat, mesin ATM untuk Partai, dan hamba-hamba dari DPRD. Dan karena begitulah maka kita sampai harus mengamandemen UUD, bahkan sampai empat kali hanya dalam selang waktu 1999 – 2002. Tuntutan akan otonomi daerah begitu derasnya, itu agar daerah tidak sekedar menjadi pelayan atau hamba untuk memenuhi nafsu dari pusat.

Begitulah maka saya prediksi bahwa kelompok yang menginginkan agar kepala daerah dipilih DPRD, langkah selanjutnya adalah mereka (harus) mengubah atau menghapuskan UU otonomi daerah. Itu langkah logis berikutnya.

Setelah langkah ini semuanya terwujud, tibalah ke langkah pamungkas atau jurus simpanan terakhir.

Jika pilkada langsung oleh rakyat tidak sesuai dengan Pancasila, maka tibalah saatnya untuk menyatakan bahwa pilpres langsung juga tidak sesuai dengan Pancasila. Presiden seharusnya dipilih oleh DPR. Untuk ini diperlukan langkah pamungkas, mengamandemen UUD. PRESIDEN DIPILIH OLEH DPR.

Mengamandemen UUD itu tidaklah begitu sulit, buktinya hanya dalam selang waktu 1999 – 2002 amandemen UUD dilakukan sampai 4 kali.

Seluruh darah yang tercurah, semua penderitaan dan nestapa yang menggilas rakyat, segala keringat dan jerih payah yang selama ini kita alami untuk belajar bagaimana cara terbaik bernegara, apa jalan yang harus kita lalui untuk menjadi lebih bahagia, semua itu akan terhapuskan.

Begitu prediksi saya. Hanya saya tidak tahu apakah kita akan membiarkan hal itu terjadi?.






Sumber : http://ift.tt/1mdQLub

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz