Menghujat SBY, Berarti Tidak Tahu Politik
Dua hari belakangan, SBY selalu disalahkan. Dicaci maki pengguna internet. Apa untungnya? Hanya menghabiskan energi. Dan caci maki itu tidak bisa membatalkan UU Pilkada yang telah disahkan melalui mekanisme di DPR yang sah menurut konstitusi.
Sudahlah.. Dicitrakan negatif juga tidak merugikan SBY. Beliau sudah tidak membutuhkan lagi dukungan rakyat, karena masa jabatannya tinggal hitungan hari. SBY juga tidak butuh dukungan untuk nyapres lagi, karena sudah dua periode di RI 1.
Presiden itu jabatan politik. Dia juga Ketua Partai Politik. Sepantasnya kita pandang SBY dari kacamata politik. Maka akan terlihat SBY itu politikus hebat. Sangat hebat. 10 tahun SBY mampu mempertahankan posisinya. Bandingkan dengan politikus lain, jangankan melanggengkan kekuasaan, merebut hati rakyat Indonesia untuk menggapai kekuasaan saja tidak mampu.
Posting di kompasiana ini juga pada rubrik politik. Maka sepantasnya kita memandang peristiwa 26 September 2014 itu sebagai kejadian politik. Sudah menjadi aturan di dunia politik itu ada menang-kalah. Kawan menjadi lawan dan sebaliknya. Sandiwara, akrobat, manuver, skenario dan sejenisnya “halal” dalam dunia politik.
Berbagai upaya SBY baik perkataan atau perbuatan untuk meyakinkan rakyat bahwa tindakannya benar itu politik. Begitu juga dengan pendapat yang menilai SBY dan Demokrat salah juga politik. Pihak manapun yang bisa meyakinkan dan mengambil hati rakyat, itu nilai plus dalam investasi politik.
DPR yang melakukan pembahasan RUU Pilkada di Senayan adalah orang politik. Mereka duduk di parlemen di pilih rakyat melalui proses politik. Undang-undang yang telah disahkan juga produk politik.
Dan semua proses politik itu sepanjang sesuai dengan aturan main adalah sah. Jadi apa yang harus disalahkan dari sebuah peristiwa politik? Mengapa mencaci maki sebuah manuver politik, sandiwara politik, skenario politik dan sejenisnya?
Yang jelas, realita politik dalam pembahasan RUU Pilkada itu partai pendukung Pilkada melalui DPRD menang dan pendukung Pilkada langsung kalah. Realita lainnya, SBY dan Demokrat sukses “mengerjai” PDIP.
Mengapa PDIP dan partai pendukung Pilkada langsung bisa kalah? Berarti strategi politiknya belum jitu. Atau pelaku politik dalam partai itu belum hebat.
Biarlah pelaku politik itu melakukan langkahnya di panggung mereka. Dan kita sebagai rakyat menonton sambil memprediksi hasil dari permainan politik itu. Menilai dan menimbang pemain mana yang bagus dan sesuai dengan keinginan kita.
Hingga pada akhirnya, kita memberikan atau tidak memberikan hak politik dalam Pemilu atau Pilpres yang akan datang. Dan selanjutnya kembali menonton hasil pilihan politik kita.
Itulah panggung politik. Suka tidak suka, mau tidak mau politik itu akan terus berjalan menghasilkan pemenang dan pecundang.
Sumber : http://ift.tt/1uQN5hl
Sudahlah.. Dicitrakan negatif juga tidak merugikan SBY. Beliau sudah tidak membutuhkan lagi dukungan rakyat, karena masa jabatannya tinggal hitungan hari. SBY juga tidak butuh dukungan untuk nyapres lagi, karena sudah dua periode di RI 1.
Presiden itu jabatan politik. Dia juga Ketua Partai Politik. Sepantasnya kita pandang SBY dari kacamata politik. Maka akan terlihat SBY itu politikus hebat. Sangat hebat. 10 tahun SBY mampu mempertahankan posisinya. Bandingkan dengan politikus lain, jangankan melanggengkan kekuasaan, merebut hati rakyat Indonesia untuk menggapai kekuasaan saja tidak mampu.
Posting di kompasiana ini juga pada rubrik politik. Maka sepantasnya kita memandang peristiwa 26 September 2014 itu sebagai kejadian politik. Sudah menjadi aturan di dunia politik itu ada menang-kalah. Kawan menjadi lawan dan sebaliknya. Sandiwara, akrobat, manuver, skenario dan sejenisnya “halal” dalam dunia politik.
Berbagai upaya SBY baik perkataan atau perbuatan untuk meyakinkan rakyat bahwa tindakannya benar itu politik. Begitu juga dengan pendapat yang menilai SBY dan Demokrat salah juga politik. Pihak manapun yang bisa meyakinkan dan mengambil hati rakyat, itu nilai plus dalam investasi politik.
DPR yang melakukan pembahasan RUU Pilkada di Senayan adalah orang politik. Mereka duduk di parlemen di pilih rakyat melalui proses politik. Undang-undang yang telah disahkan juga produk politik.
Dan semua proses politik itu sepanjang sesuai dengan aturan main adalah sah. Jadi apa yang harus disalahkan dari sebuah peristiwa politik? Mengapa mencaci maki sebuah manuver politik, sandiwara politik, skenario politik dan sejenisnya?
Yang jelas, realita politik dalam pembahasan RUU Pilkada itu partai pendukung Pilkada melalui DPRD menang dan pendukung Pilkada langsung kalah. Realita lainnya, SBY dan Demokrat sukses “mengerjai” PDIP.
Mengapa PDIP dan partai pendukung Pilkada langsung bisa kalah? Berarti strategi politiknya belum jitu. Atau pelaku politik dalam partai itu belum hebat.
Biarlah pelaku politik itu melakukan langkahnya di panggung mereka. Dan kita sebagai rakyat menonton sambil memprediksi hasil dari permainan politik itu. Menilai dan menimbang pemain mana yang bagus dan sesuai dengan keinginan kita.
Hingga pada akhirnya, kita memberikan atau tidak memberikan hak politik dalam Pemilu atau Pilpres yang akan datang. Dan selanjutnya kembali menonton hasil pilihan politik kita.
Itulah panggung politik. Suka tidak suka, mau tidak mau politik itu akan terus berjalan menghasilkan pemenang dan pecundang.
Sumber : http://ift.tt/1uQN5hl