Suara Warga

Jangan Menggerus Publik dari Demokrasi

Artikel terkait : Jangan Menggerus Publik dari Demokrasi

Secara teknis prosedur penyelenggaran Pemilu terus diperbaiki. Dari Pemilu ke Pemilu regulasi terkait proses demokrasi mengalami sejumlah perubahan. Meski masih terjadi kekurangan di sana-sini, tetapi yang harus diakui kualitasnya makin meningkat secara subtansial. Mekanisme pemilihan langsung telah menempatkan makna partisipasi lebih berarti.

Demokrasi adalah sistem yang dikembangkan dan berkembang bukan saja sebagai alat atau instrumen (cara), juga sekaligus merupakan tujuan (aims). Oleh sebab itu upaya untuk mencapai kehidupan yang demokratis juga harus melalui cara-cara demokratis. Sebagai tujuan, demokrasi idealnya sebagai sistem kontrol rakyat terhadap urusan publik yang dibangun dari dasar kesetaraan warga negara.

Masalah ini berkaitan erat dengan persoalan partisipasi dan reprensentasi yang menjamin hak dan kepentingan warga negara dalam mencapai tujuan hidupnya. Jika representasi menyoal hak dan kepentingan publik, maka partisipasi mengacu pada keikutsertaan warga negara dalam proses politik untuk secara aktif menentukan, dan mengambil keputusan. Partisipasi merupakan prinsip keterbukaan, sedang representasi berarti pengakuan dan pemenuhan atas hak.

Beberapa pekan ini wacana demokrasi kita dirubung diskursus mengenai istilah demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi delegatif (delegative democracy)-demokrasi perwakilan. Pemilukada dengan mekanisme coblos langsung di tempat pemungutan suara oleh sebagian kelompok hendak dikembalikan ke DPRD. Dalam perkembangannya dipilih langsung oleh rakyat di TPS, atau oleh anggota Dewan di DPRD kerap menjadi tolok ukur kualitas demokrasi.

Namun yang perlu dipahami, semakin luas partisipasi publik dan makin banyaknya kepentingan publik yang terwakili, dapat dikatakan kualitas demokrasi makin membaik. Tetapi sebaliknya, makin terbatas akses partisipasi apalagi bila hanya akan dipilih segelintir orang diyakini sebagai indikasi makin buruknya mutu demokrasi. Perdebatan pilih langsung atau diwakili Dewan masih berlangsung dalam tarik menarik elit papan atas di Senayan.

Pilihan kita dalam timbangan prosedural saat ini hanya ada dua, yakni kita lebih mementingkan substansi pada pelaksanaan, atau hanya ingin taat pada prosedurnya. Menolak pemilihan digelar di DPRD bukan berarti menafikan para wakil rakyat yang dipilih dari proses Pemilu. Tetapi bila mengabaikan aspek partisipasi dan representasi, demokrasi hanya akan seolah prosedur yang menjauhkannya dari substansi demokrasi.

Pemilihan langsung untuk memilih Bupati, Gubernur juga Presiden buah reformasi yang perlu dijaga. Betapa pun semuanya memiliki plus dan minus, setiap pilihan yang dijalani bangsa ini dalam satu dekade penting telah menggariskan muatan lebih progresif. Kita tentu lebih menyukai dan menikmati sebuah pertandingam dari tribun terbuka, bagaimana pun hasilnya, tinimbang duduk dengan manis dan meragu karena menanti hasil pemilihan yang digelar tertutup penuh kasak-kusuk.

Jangan menggerus ruang publik dari demokrasi. Transformasi gagasan yang tengah berkelindan di banyak tempat diskusi cukuplah sebagai referensi untuk penataan sistem Pemilu yang lebih baik dan berkualitas. Kita tak bisa lagi membiarkan urusan-urusan publik akan dirumuskan dalam prosedur demokratis di ruang tertutup, yang mungkin saja berbasis kepentingan bisnis berlabel kebijakan publik.

Jangan pula menyoal besaran biaya yang mahal untuk kemudian melandaskan alasan untuk meminggirkan partisipasi langsung rakyat di Pemilukada. Politik uang yang menjadi kambing hitam, misalnya, akan tetap sama saja nilainya bila tabiat tak berubah. Sebab uang sifatnya berlaku dimana-mana. (*)

Mamuju, 15 September 2014




Sumber : http://ift.tt/1tfJawo

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz