Ini Solusi RUU Pilkada: KPUD Jadi Penyelenggara Penuh
JAKARTA-Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) 2015 telah berdampak luas pada perkembangan isu politik. Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) bahkan memilih mundur dari partainya, lantaran Gerindra mendukung RUU yang mewacanakan kembalinya Pilkada diserahkan ke tangan DPRD masing-masing daerah.
Langkah Ahok ini bahkan diikuti oleh ratusan kepala daerah lainnya di seluruh daerah di Indonesia. Ratusan bupati dan wali kota se Indonesia itu menolak RUU Pilkada lantaran menghapus mekanisme pemilihan langsung rakyat dan diganti dengan kembali ke pemilihan era orde baru.
Namun jika ditinjau dari sosio-politik Indonesia, langka Kementerian Dalam Negeri untuk menggodok ulang UU Pilkada tersebut ada benarnya. Pasalnya, dari temuan sejumlah lembaga survei menyebutkan bahwa lebih dari 300 kepala daerah yang berasal dari hasil pemilihan langsung terlibat kasus korupsi.
Bahkan jumlah terbesar kepala daerah yang terseret kasus korupsi itu berasal dari provinsi Jawa Timur dengan lebih dari 30 kepala daerah. Disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat di posisi kedua dan ketiga. Selebihnya kasus korupsi hampir terjadi dan merata di seluruh provinsi di Indonesia.
Hal ini terjadi lantaram mahalnya proses demokrasi kita selama ini. Para kandidat yang berkeinginan mencalonkan diri menjadi kepala daerah harus melakukan deal-deal politik dengan partai politik. Satu di antaranya bahkan menjaminkan uang seperti yang terjadi saat pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Setelah itu, para calon kepala daerah juga harus membiayai kampanye. Jumlahnya pun tidak sedikit, untuk penduduk sekitar 1,5 juta saja, para calon kepala daerah biasanya menggelontorkan dana hingga puluhan miliar rupiah. Untuk mendapatkan dana kampanye itu, tidak sedikit kepala daerah yang harus membuka bursa saham politik.
Akibatnya, untuk memuluskan jalan tersebut, banyak calon kepala daerah atau partainya melakukan segala cara. Baik cara yang baik, kurang etis, hingga yang melanggar hukum.
Ini mengindikasikan bahwa mekanisme pemilihan langsung perlu pembenahan. Bukan berarti mekanisme ini nol besar. Akan tetapi sejak diberlakukannya pada 2004 silam, belum ada pengkajian ulang tentang efektifitas pemilihan langsung.
Artinya ini adalah momen untuk menata kembali mekanisme pemilihan langsung. Dan bukannya kembali ke masa orde baru. Karena bisa dimungkinkan, dengan kembalinya sistem pemilihan Pilkada ke era Orde Baru, praktik KKN akan secara sistematis terlembaga antara legislatif dan eksekutif.
RUU Pilkada yang digodok di parlemen saat ini juga secara tidak langsung akan mencederai demokrasi yang selama ini kita bangun. Artinya belum ada jaminan juga dengan kembalinya mekanisme pemilihan langsung ke era orde baru, KKN akan bisa dihilangkan.
Untuk itu sebaiknya pemilihan kepala daerah sepenuhnya diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) masing-masing daerah. Hematnya, KPUD bukan hanya sebagai penyelenggara Pilkada semata, melainkan juga harus menjadi pengelola pilkada hingga kepala daerah terpilih selesai dilantik.
Artinya, KPUD berkewajiban menjembatani calon kepala daerah baik secara perorangan atau dari partai untuk mencalonkan diri. KPUD juga harus memberikan kesempatan siapapun itu untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah baik dengan cara independen atau memilih partai politik.
Dalam proses ini, KPUD harus menggandeng sejumlah penegak hukum, di antaranya polisi, BPK, hingga KPK untuk selalu mengawasi jika terjadi proses money politic antar partai politik dengan calon kepala daerah.
Setelah menentukan calon-calon kepala daerah, KPUD membiayai proses kampanye semua calon kepala daerah dengan kuantitas dan kualitas yang sama.
Contohnya; KPUD berkewajiban membiayai semua Alat Peraga Kampanye (APK) yang berkaitan dengan masing-masing calon kepala daerah kepada masyarakat dengan porsi yang sama. Di sisi lain, jika ada salah satu partai politik dan calon kepala daerah menginginkan kampanye sendiri, diharuskan untuk juga memasang foto kandidat lawan dari kepala daerah yang diusungnya.
Kemudian KPUD segera menugaskan tim pengawas yang bersinergi dengan saksi partai politik untuk mengawasi proses jalannya kampanye. Jika ditemukan pelanggaran kampanye dan bahkan money politic, KPUD secara tegas harus mendiskualifikasi peserta pemilukada.
Untuk mengantisipasi adanya polemik politik akibat diskualifikasi, KPUD bisa membawa kasus tersebut untuk diselesaikan di Mahkamah Konstitusi.
Artinya, sudah tidak ada lagi calon kepala daerah yang menggadaikan idealismenya untuk membayar hutang biaya kampanye. Karena semua biaya kampanye harusnya ditanggung oleh KPUD. Secara konstitusi aliran keuangan nantinya juga akan lebih jelas ketimbang proses pemilihan kepala daerah saat ini.
Hematnya, langka ini juga bisa menekan angka korupsi yang selama ini telah menjadi virus di semua daerah. Dengan cara demikian, tidak akan ada lagi kepala daerah yang saat menjabat harus memikirkan membayar hutan biaya kampanye dulu.
Jika mekanisme ini berjalan efektif dan transparan, bukan tidak mungkin jika Pemilu Presiden dan DPR 2019 bisa diselenggarakan menggunakan mekanisme yang sama. Meski biaya terlihat mahal, tapi itu tidak sebanding mahal dengan apa yang digelontorkan setiap calon kepala daerah untuk kampanye.
Sumber : http://ift.tt/1tUEcCW