Agunkan SK? Ah, Anggota Dewan juga Manusia!
Saat membaca berita di Kompas beberapa hari lalu terkait anggota DPR yang mengagunkan SK untuk mendapat pinjaman dana segar dari bank, membuat saya kembali teringat beberapa cerita mengenai anggota dewan yang terhormat tersebut.
Kita selalu berpikir, anggota dewan itu umumnya dari keluarga yang berkecukupan. Setidaknya, memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan rutin bulanan, seperti membayar tagihan listrik, tagihan air, dll. Namun beberapa waktu lalu, sebelum isu-isu mengenai agun mengagunkan ini mencuat, saya sempat mendengar dari seorang teman yang bekerja di sebuah perusahaan air minum, bahwa ada salah satu anggota dewan Kota Batam yang menunggak membayar tagihan air sehingga terancam aliran airnya diputus.
Calon anggota dewan tersebut (calon karena saat itu belum resmi dilantik) meminta perpanjangan waktu hingga 1 September 2014, hari dimana ia dilantik sebagai anggota DPRD Periode 2014/2019 dan konon katanya pada hari tersebut langsung menerima gaji dll.
Mendengar cerita tersebut membuat saya jadi berpikir, mungkin ia tidak memiliki cukup uang karena tagihannya tinggi, bisa saja kan pipa jaringan dalam rumahnya bocor sehingga harus membayar tagihan hingga berjuta-juta, namun teman saya bilang, tagihannya hanya sekitar Rp300.000. Wow, saat itu saya tidak bertanya lebih lanjut, hanya saja bertanya dalam hati, masa anggota dewan tidak punya uang Rp300.000 untuk kebutuhan yang cukup mendesak seperti itu?
Eh tapi bisa saja memang tidak punya uang. Mungkin ada kebutuhan lain yang memang lebih mendesak, walaupun sebenarnya air bersih dari perusahaan air minum merupakan kebutuhan primer di Kota Batam, karena tidak ada sumber air bersih dari tempat lain, meski satu dua, masyarakat ada juga yang memiliki sumur. Apalagi sebagai anggota dewan terpilih mungkin agak gengsi juga harus meminjam kepada kerabat - apalagi kepada tetangga. Ah, anggota dewan juga kan manusia!
Saya jadi teringat peristiwa beberapa tahun lalu saat masih menjadi wartawan. Saat itu ada beberapa anggota DPRD Kota Bogor yang curhat, bahkan bersedia diberitakan bahwa ia memiliki banyak hutang. Ada cerita lucu, saat itu entah saya yang salah ketik, entah redaktur/copy editor yang mengedit dan tulisan saya terhapus sebagian, yang jelas hutang anggota DPRD yang seharusnya tercantum Rp50 juta, saat terbit keesokan harinya di surat kabar menjadi Rp5 juta.
Habislah saya dicomplain oleh anggota dewan itu. Dia minta ralat, katanya malu punya hutang Rp5 juta, namun digembar-gemborkan melalui media. Tapi waktu itu saya bandel, saya tidak ralat =D. Habis masa iya saya bikin ralat mengenai jumlah hutang anggota dewan. Biarin aja lah. Biar anggota dewan itu tidak marah, setiap kali ketemu dia – sebelum dia menyapa atau bertanya, saya senyum-senyum aja hehehe.
Anggota dewan itu mengatakan, pinjaman tersebut untuk memenuhi keperluan pribadi, maupun untuk konstituen. Ia mengatakan, ada beberapa warga yang kerap mengajukan permohonan dana melalui proposal, belum lagi tetangga sekitar yang setiap kali kesulitan uang pasti mengandalkan dirinya. Tidak punya uang untuk bayar listrik, minta, tidak punya uang untuk bayar air, minta, seolah anggota dewan merupakan sumber uang. Gara-gara mendengar curhatan si anggota dewan itu, saya sempat berpikir, saya sih gak bakalan mau jadi anggota dewan kalau diribetin sama warga seperti itu. Tapi ternyata beberapa tahun kemudian, anggota dewan itu mencalonkan diri lagi dan terpilih lagi di periode berikutnya. Jadi, menjadi anggota dewan berarti tidak buruk dong ya? =D
Menurut salah satu anggota dewan di Kabupaten Bogor yang dulu sempat jadi nara sumber saya saat masih menjadi wartawan. Mencalonkan diri menjadi anggota dewan memang memerlukan modal. Saat ia terpilih sebagai anggota dewan periode 2004/2009 ia mengeluarkan dana seharga satu motor.
Menikmati menjadi anggota dewan, pada periode berikutnya ia mencalonkan diri kembali. Tak tanggung-tanggung ia menyiapkan modal seharga satu mobil – cukup banyak berlipat-lipat melihat modal dia sebelumnya hanya sebesar harga satu motor. Namun sayang ia gagal, belum dipercaya rakyat untuk menjadi wakil di DPRD Kabupaten Bogor.
Melihat modal yang dikeluarkan, apalagi si anggota dewan tersebut bukan dari kalangan berada atau tajir melintir, wajar sebenarnya bila mengagunkan SK pengangkatan mereka sebagai anggota dewan. Selama ia tidak korupsi dan mencicil angsuran untuk melunasi agunan tersebut dari uang halal yang mereka peroleh tidak salah. Toh itu kan memang uang dia, sama halnya dengan PNS yang mengagunkan SK pengangkatan mereka untuk mendapatkan dana segar dari bank.
Akan menjadi salah bila anggota dewan tersebut terlena hidup berfoya-foya hingga lupa menyisihkan uang dari gaji dan tunjangan mereka untuk melunasi agunan tersebut. Ujung-ujungnya mencari celah untuk membayar lunas agunan tersebut tanpa mengeluarkan uang dari dompet sendiri.
Apalagi katanya mereka biasanya ditawari untuk mengagunkan SK tersebut oleh bank melalui sekertariat dewan. Mereka tidak minta atau mencari info. Siapa sih yang tidak tergiur? Apalagi mungkin melihat angkanya yang cukup besar dan bisa digunakan untuk keperluan mendesak, seperti merenovasi rumah – agar lebih besar dan menampung lebih banyak konstituen, atau untuk syukuran, atau hal lain. Ah sudahlah, dewan juga kan manusia! (*)
Sumber : http://ift.tt/1s88m3q