Suara Warga

NEGARA ISLAM INDONESIA ..? Mimpi Kalee

Artikel terkait : NEGARA ISLAM INDONESIA ..? Mimpi Kalee


Prof. Nasaruddin Umar menyatakan bahwa sebagian umat Islam terlalu asyik dengan masalah-masalah simbol Syariat, sibuk mencari pahala akhirat, tidak menggali substansi ajaran agama dan tidak juga mengembangkan kajian atau pemahaman nash Al-Qur’an dan Al-Hadits untuk menghadapi perkembangan zaman sesuai dengan kontek kekinian. Bisa jadi mereka membaca buku-buku klasik di mana pemikiran yang mendasari tafsirnya dipengarui oleh situasi yang ada, dan kini situasinya sudah berbeda. Akibatnya ketika terjadi perubahan zaman dengan cepat dan tidak pernah dibayangkan, mereka menjadi shok dan keget sampai pingsan. Ketika terbangun, mereka melihat keadaan benar-benar berbeda dengan apa yang masih mereka geluti, dan mereka tidak bisa menyesuaikan diri mengikuti perkembangan yang cepat berubah, maka menurut mereka kembali kepada fundamen Islam adalah jalan yang paling baik. Fundamen menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya: asas; dasar; hakikat . Kembali kepada fundamen memang dianjurkan seperti yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Saw. Tetapi karena cara memahami agama yang tertulis dalam nash hanya perpegang pada tafsir tunggal, jadilah mereka fundamentalisme. Fundamentalisme artinya penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran agama yang asli seperti yang tersurat di dalam kitab suci. Padahal Islam adalah agama selaras dengan semua zaman. Dalam kaidah fikih disebutkan: Almuhafazhatu ala alqadimi ash-shalih wa al-akhdzi bi aljadidi al-ashlah , yang artinya memelihara hal lama yang bagus dan mengambil hal yang baru lebih bagus.


Dengan membaca teks dengan satu tafsinya sendiri tanpa memperhatikan keberagaman atau kemajemukan umat manusia yang terdiri dari berbagai entnis, suku, agama dan kepercayaan, tanpa melihat kondisi negara-negara yang berbeda-beda, tanpa memperhatian kultur dan budaya, tanpa membaca sejarah terbentuknya suatu bangsa, tanpa mengkaji tafsir-tafsir para ulama, tanpa menggunakan takwil dan hikmah, tanpa memahami substansi dan tujuan, tanpa merujuk pada kajian-kajian lain, mereka benar-benar merasa bahwa apa yang dipahami dan apa yang sedang diperjuangkan adalah yang paling benar. Pemahaman lain yang tidak sama dengan pemahaman mereka dianggap salah dan harus diperangi. Maka mereka memuculkan:


1. Pikiran menyalahakan zaman, menyalahkan keadaan dan situasi, menyalahkan masyarakat, menyalahkan orang-orang yang tidak sefaham dan menuduh orang di luar komunitasnya merusak Islam.


2. Pikiran ingin mengembalikan Islam seperti pada masa lalu, mengembalikan Islam seperti pada zaman Rasulullah, zaman sahabat dan zaman kejayaan Islam.


Demi merealisasikan pikiran-pikiran tersebut, di mana dalam setiap usahanya mengalami kesulitan dan mendapatkan tantangan yang berat karena dunia sudah tidak bisa diksekat-sekat, ditambah lagi pengaruh globalisasi yang tak bisa dibendung dan dominasi negara maju tak bisa dicegah, maka dalam ketidak berdayaannya itu mereka melakukan teror dengan dalil agama kepada orang-orang yang dianggap musuh (kafir), menyerang orang atau negara yang dianggap menghancurkan Islam, melakukan tindak kekerasan atas nama agama terhadap orang-orang yang dianggap menghalangi atau melanggar ajaran Islam, mendemo dan menolak pemerintah yang tidak mau mendukungnya, membid’ahkan umat Islam dan mengkafirkannya karena dianggap tidak mengikuti gagasannya, menggalang massa dan kekuatan untuk mendirikan negara Islam, mendirikan khilafah dan sebagainya.


Ada pertanyaan yang perlu direnungkan. Benarkah “Khilafah” sebuah keharusan bagi umat Islam? Apakah simbol “Syariat” menjadi harga mati bagi umat Islam yang harus diperjuangkan? Pertanyaan berikutnya adalah: “Kepada mereka yang mau mendirikan Khilafah Islamiah atau Daulah Islamiah (negara Islam), Anda tinggal di mana? Anda yang mau mengusung simbol “Syariat” untuk mengganti Pancasila, sadarkah sebelum Anda lahir dan tinggal di negeri ini, bangsa ini telah sepakat menjadikan Pancasila sebagai konsitusi dan aturan untuk berbangsa dan bernegara?


Ketika pertanyaan ini saya ajukan - maaf saya juga adalah seorang yang mengamalkan syariat – jangan Anda berasumsi seperti seorang ustadz di Media Sosial yang menyatakan orang Islam tetapi benci terhadap Islam, mengaku Islam tetapi tidak membela ketika Islam dinistakan, mengaku muslim tapi diam saat Islam dihujat, mengaku beragama Islam tetapi tidak mendukung khilafah, mengaku Islam tapi tidak menolak pemimpin yang bukan dari Islam, mengaku Islam tetapi membiarkan orang jualan makanan di siang hari bulan Ramadhan, dan sebagainya….?


Saya tidak sama dengan mereka. Mereka memperjuangkan Islam dengan keinginan mengangkat simbol, kami berjuang dengan mengajak mengambalkan dan memasyarakatkan makna dan nilai-nilai Islam. Mereka berjuang dengan teriakan suara menghentak, kami berjuang dengan membisikkan suara ke dalam hati. Mereka berjuang dalam keramaian pawai kendaraan motor yang kadang melanggar aturan lalu lintas, kami berjuang dalam kesunyian dari hati ke hati dengan media yang tanpa pembatas. Mereka berjuang dengan pukulan, kami berjuang dengan sentuhan. Mereka berjuang dengan kekerasan, kami berjuang dengan dialog, pendekatan dan sentuhan ruhani. Jangan katakan kami membenci Islam, karena kami mempunyai jalan dakwah yang tidak sama dengan cara mereka. Kami menyintai mereka, tetapi kami membenci cara mereka yang tidak sesuai dengan budaya dan keragaman bangsa Indonesia. Kami mendakwahkan ajaran Islam, nilai-nilai Islam dan akhlak Islam tidak harus dengan kekerasan dan mendirikan Negara Islam.


Bagi mereka yang menyatakan wajib hukumnya mendirikan “khilafah” atau Negara Islam tentu punya dalil yang shahih nashnya. Bisa jadi nashnya shahih, tetapi makna dan substansinya tidak nyambung atau tidak tepat penerapannya, karena tafsir tunggal tadi. Dalil dimaksud menurut mereka dikatakan sebagai kesepakatan umat Islam. Saya tidak tahu, apakah umat Islam Arab atau Umat Islam sedunia? Padahal kalau kita cari di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis – coba cari juga dengan google – kita tidak menemukan kalimat yang secara tekstual dan khusus menyatakan “dirikanlah negara Islam,” atau kata yang semakna perintah mendirikan negara berasas Syariat.


Dalil-dalil yang mereka sebutkan itu di antaranya:


وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ


Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menguatkan terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan , dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. Al-Maidah: 48).


وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ


Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah (QS. Al-Maidah: 49).


Kedua ayat tersebut terdapat dalam Surat Al-Maidah, berisi perintah menerapkan hukum di antara masyarakat dengan apa yang diturunkan Allah, tidak ada perintah mendirikan “Khilafah Islamiah atau Negara Islam.” Hanya saja mereka memaknai ayat tersebut sebagai perintah mendirikan negara Islam. Padahal pemahaman mereka itu tidak lebih sebagai Tafsir Tunggal (tafsirnya sendiri), dengan khayalan bahwa perintah Allah hanya bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat oleh Khalifah dalam sistem negara Khilafah. Karena itu mendirikan Khilafah menurutnya dihukumkan wajib, kaidah usul fikihnya ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib, sebuah kewajiban yang tidak sempurna karena sesuatu, maka adanya sesuatu itu menjadi wajib. Ayat tersebut sebenarnya juga memberi penegasan, bahwa tiap umat diberikan syariat tersendiri, Al-Qur’an juga menguatkan kedudukan kitab-kitab sebelumnya.


Tentang kekhalifahan, sebenarnya sudah tidak ada lagi sesudah Khulafaur Rasyidin. Setelah Ali Bin Abi Thalib wafat dibunuh oleh Abdurrahman bin Mulja, Hasan bin Alim menerima baiat dan hanya sempat memimpin 7 bulan. Sesudah itu, tampillah Muawiyah sebagai pemimpin yang berlanjut dengan sistem “Malik” yaitu pemimpin yang diangkat berdasarkan keturunan, atau disebut juga sebagai raja dari sebuah dinasti. Ingat, sesuah Khalifah Ali bin Abi Thalib, tidak ada lagi khalifah, tetapi memang ada yang berpendapat masih ada satu lagi yaitu Umar bin Abdul Aziz.


Sejak saat itu pergantian pemerintah dilanjutkan oleh anak keturunannya, dan itu bukan lagi khilafah. Kemudan nanti deteruskan oleh dinasti yang bebeda-benda. Dan kemajuan Islam berada pada masa raja-raja, walau saat itu disebut Khalifah. Karena itu kata khalifah di sini bisa kita maknai sebagai presiden. Rasulullah Saw sendiri menyatakan bahwa tidak ada lagi kekhalifahan sesudah 30 tahun masa awal Islam, sebagaimana sabdanya:


عن سفينة أبي عبد الرحمن مولى رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : الخلافة ثلاثون سنة ثم يكون بعد ذلك ملكا


Diriwayatkan oleh Sufainah Abu Abdurrahman pembantu Rasulullah Saw berkata, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda: Khilafah hanya berjalan 30 (tiga puluh) tahun, kemudian sesudah itu adalah pemerintahkan raja (HR. Ahmad).


Sementara dalam konteks ke-Indonesiaan, di mana masyarakatnya terdiri dari berbagai pemeluk agama, terdiri dari berbagai kepercayaan dan sudah hidup dalam keberagaman, dan pemeluk Islam adalah mayoritas. Di samping itu, bangsa ini sudah menetapkan Pancasila sebagai landasan negara dan demokrasi sebagai sistem perjalanan bangsa. Dalam kondisi seperti itu, maka ayat tersebut justru sangat tepat bagi bangsa Indonesia. Kita tidak harus mendirikan negara Islam, tetapi yang harus kita perjuangkan adalah bagaimana hukum Allah bisa diterapkan. Kita tadak harus memuat kata “Syariat Islam” dalam undang-udang atau aturan yang dibuat, yang penting substansi hukum dan ajaran Islam ada di dalamnya. Untuk menerapkan hukum Allah tidak harus membangun simbol setinggi angkasa, atau mendirikan tugu sekian kali tinggi Tugu Monas lalu di atasnya dituliskan kata “Syariat,” tetapi yang paling penting adalah ajaran dan substansinya. Sebagai seorang muslim wajib menjalankan syariat Islam, tetapi tidak harus ditonjol-tonjolkan dan dipamerkan. Untuk shalat, tidak harus pakai gamis, dengan bercelana panjang pun bisa.


Dalam negara demokrasi, silakan mereka berwacana mendirikan khilafah atau negara Islam, karena setiap orang dijamin kebebasannya untuk punya pemikiran dan menyampaikan pendapat. Namun bila pemikiran dan pendapat itu sudah masuk pada tataran aksi dan melakukan anarki, maka kita seluruh bangsa wajib ikut mencegah dengan berbagai usaha yang damai, bisa melalui media sosial. Di sini aparat yang berwajib harus bertindak tegas tanpa pandang bulu. Kalau mereka itu orang-orang keturuan yang merasa sebagai masyarakat kelas satu dalam Islam, dan tidak mau menerima budaya dan kesepakatan bangsa Indonesia, sebaiknya surah saja pulang ke negara asalnya. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada kelebihan antara bangsa Arab dan bangsa Ajam, semua keturuan Adam, dan Adam dicipta dari tanah.” Boleh saja mereka berdalil dengan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadis, tetapi alangkah baiknya kalau mereka juga bisa diajak dialog atau berdiskusi tentang pemahaman dalil-dalil tersebut dengan para ahli Indonesia, yakni orang Islam Indonesia.


Orang Islam Indonesia tidak sama dengan orang Indonesia yang beragama Islam. Orang Islam Indonesia adalah orang yang lahir di Indonesia dan mengikuti budaya Indonesia dari para leluhurnya dan tahu ke-Indonesiaan, maka mereka memahami dalil nash sesuai dengan kondisi Indonesia. Orang Indonesia yang beragama Islam adalah orang yang mungkin datang atau keturunan dari luar Indonesia dan menjadi warga negara Indonesia yang masih mengikuti budaya leluhurnya, atau orang Indonesia yang karena pernah tinggal di luar negeri dan pulang membawa budaya dari sana. Budaya yang mereka dapat dari luar itu dijadikan sebagai dasar untuk menyalahkan budaya Indonesia.


Mereka yang ingin membangun khilafah juga berdalil dengan ayat-ayat berikut:


وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ


Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir (QS. Al-Maidah: 44)


وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (QS. Al-Maidah: 45)


وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ


Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik (QS. Al-Maidah: 44)


Tiga ayat yang menyatakan bahwa orang-orang yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dinyatakan sebagai orang-orang kafir, orang-orang zalim dan orang-orang fasik, terdapat dalam satu tempat yaitu Surat Al-Maidah ayat 44, 45 dan 47. Ayat-ayat tersebut kalau kita telusuri asbab nuzulnya, sebenarnya disampaikan kepada orang-orang Nasrani yang menerima kitab Taurat dan tidak menjalankan hukum yang ada di dalamnya. Ayat ini konteknya adalah untuk orang per orang. Dalam bahasa hukum adalah “barangsiapa.” Ayat ini tidak ada perintah untuk mendirikan khilafah atau negara Islam. Ayat ini menekankan agar setiap orang bisa berhukum dengan apa yang diturunkan Allah. Dan apa yang diturunkan Allah, substansinya bisa dimasukkan dalam sebuah undang-undang.


Apa sih substansi hukum Allah yang harus dimasukkan dalam undang-undang? Undang-udang tidak perlu menjelaskan rukun Islam, rukun Iman, rukun Ihsan, aturan-aturan ibadah, dan juga cara-caranya. Karena itu adalah urusan individu. Substansi agama Allah yang masuk dalam undang-undang hanya 3, yaitu adil, benar, baik/indah. Adil dalam menetapkan keputusan, adil dalam memenuhi hak dan kewajiban, adil dalam pelayanan masyarakat, adil dalam memperlakukan semua orang tidak boleh menyinnggung SARA, dan sebagainya. Benar, yaitu cocok antara kata dan perbuatan, sesuai antara hati dan tindakan, betul antara ilmu dan amal, beti sesuai ketentuan dan aturan. Baik/indah dilihat dari situasi dan kondisinya, baik menurut orang Arab belum tentu baik menurut orang Indonesia, baik menurut orang Jawa belum tentu baik menurut orang Sumatera. Contohnya, Anda mengaji di tengah malam dengan pengeras suara, itu baik/indah untuk Anda, tetapi itu belum tentu baik bagi orang lain. Ketiganya harus singkron. Ketiganya diterapkan dalam kehidupan bersosialisasi, berbangsa dan bernegara agar setiap orang bisa hidup aman, damai dan sejahtera lahir dan batin.


Kalau udang-udang sudah ada, aparat atau pejabatlah yang menjalankannya. Pejabat yang menjalankan undang-undang boleh beragama apa saja, tidak harus beragama Islam. Sebab pejabat di sini tidak boleh membuat aturan seenaknya, misalnya membuat kebijakan yang menguntungkan komunitasnya atau kelompok agamanya, dia harus bertindak sesuai undang-udang, dia tidak boleh membuat aturan yang berlawanan dengan undang-undang. Jadi apa yang salah kalau kebetulan ada orang yang tidak seagama dan terbukti sukses dan tidak terlibat dalam sebuah kejahatan, tetapi memiliki komtmen membangun bangsa, lalu dipilih untuk menjadi pemimpin? Sebaliknya, apakah rakyat rela dipimpin oleh orang yang seagama, tetapi hanya mementingkan diri sendiri, keluarganya, kelompoknya, dengan melakukan korupsi dan menjarah hak rakyat? Jangan salahkan rakyat yang memilih pemimpin yang demikian? Jangan ciderai mereka, lantaran mereka dulu waktu memilih tidak mendengarkan nasihat para ahli syariat. Mereka punya pandangan dan punya penilaian yang tidak sama dengan para ahli syariat. Mereka lebih mendengar kata hatinya, karena mereka melihat, mendengar, merasakaan dan mengalami. Mereka yang dulu memilih kini lebih senang diam mengikuti hukum yang berlaku. Saudara yang bersuara menentang, jangan atas namakan mereka. Yang ikut berdemo itulah hakikat pendukung Saudara. Yang tidak ikut berdemo jauh lebih banyak, dan itulah mungkin yang dulu memilih pemimpinnya. Sementara itu mari kita renungkan sebuah hadis berikut ini:


من كره من اميره شيئا فليصبر فانه ليس احد من الناس خرج من السلطان شبرا فمات عليه الا مات ميتة جاهلية


Barangsiapa yang membenci sesuatu dari sikap pemimpinnya, maka hendaknya dia bersabar. Sungguh tidak ada seorang dari sekian banyak manusia yang keluar sejengkal dari kepemimpinannya dan meninggal dunia dalam keadaan membenci, maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah.






Sumber : http://ift.tt/1EryL2C

Artikel Kompasiana Lainnya :

Copyright © 2015 Kompasiana | Design by Bamz