Kini,Kemenyan Bersejarah Itu Sudah Terancam Punah
Kemenyan atau orang Tapanuli menyebutnya haminjon, sering dianggap identik dengan Tano Batak. Kenapa. Karena komoditas yang satu ini konon sudah tumbuh di sana bersamaan dengan keberadaan Tano Batak. Jika perkiraan itu benar, berarti usia kemenyan yang ada di kawasan ini sudah sangat uzur. Ratusan tahun.
Tak jelas ceritanya bagaimana kemenyan tumbuh subur di bumi Tapanuli. Apakah tumbuh secara alamiah bersamaan dengan terciptanya Tanah Batak, ataukah dulunya sengaja ditanami para leluhur. Masih perlu pengkajian ilmiah berdimensi genealogis.
Haminjon yang istilah kimiawinya disebut Styrax Benzoin, oleh para tetua Batak dianggap karunia dari Tuhan, karena tanaman ini tidak banyak tumbuh di daerah dan negara lain. Dalam jumlah terbatas, kemenyan memang terdapat di Sumatera Selatan, dan lumayan banyak di Thailand, Kampuchea (Kamboja) dan Vietnam, yang disebut “Siam Benzoin”. Mungkin melihat kenyataan itu, Lundu Panjaitan semasa menjabat Bupati Tapanuli Utara mengklaim bahwa Tano Batak (dalam hal ini dimaksudkan wilayah Tapanuli Utara dan mekarannya), merupakan produsen kemenyan terbesar di dunia. Pada waktu Lundu menyatakan hal itu, wilayah Taput mencakup Toba, Samosir, Humbang Hasundutan, dan kabupaten induk Tapanuli Utara. Belum ada pemekaran wilayah jadi empat kabupaten sekarang ini.
Data terakhir yang digunakan Pemkab Taput untuk keperluan presentasi daerah menyebut, luas tanaman haminjon di Taput pascapemekaran tercatat 16.283 ha. Luas areal kemenyan yang terdapat di Kabupaten Dairi (kabupaten yang pertama dimekarkan dari Taput pada 1964), Toba, Samosir, dan Humbang Hasundutan, tak berbeda jauh dari Taput sebagai kabupaten induk. Produksi akhir pada 2006 sebanyak 3.509 ton. Dengan harga Rp 70.000- Rp 75.000 perkilogram untuk jenis kemenyan mata kasar dan Rp 50.000-Rp 60.000 jenis mata kacang saat itu, wajar jika sebagian penduduk Taput menjadikan kemenyan sebagai mata pencaharian utama. Menurut Bupati Taput Torang Lumbantobing, haminjon merupakan natural endowment dan kualitasnya terbaik di dunia. Komoditas ini tumbuh sempurna di Taput, Humbang Hasundutan, dan Dairi.
Beberapa literatur menunjukkan, perdagangan haminjon dari Tano Batak sudah lama berlangsung, diperkirakan sejak tiga ratus tahun silam. Tidak mengherankan, sejak zaman dahulu, bangsa-bangsa Eropah yang berkepentingan dengan kemenyan telah mengenal nama Tano Batak (Taput) sebagai produsen terbesar. Suratkabar Imanuel yang diterbitkan HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) edisi 24 Oktober 1920 (dokumentasi penulis), mengungkapkan sebuah grafik hasil bumi yang dikeluarkan dari Taput pada 1919. Di antaranya karet, kopi, kopra, kemenyan. Grafik itu menunjukkan produksi kemenyan Taput pada 1919 sebanyak 1.819.419 kilogram, dengan nilai jual 1.575.937 gulden, atau berkisar Rp 1,5 juta menurut kurs masa itu. Komoditas kemenyan menempati posisi ketiga pada bursa perdagangan hasil bumi ketika itu setelah karet, kopra dan kopi.
Pada suratkabar yang sama edisi 14 November 1920 dilaporkan, pada masa itu para pedagang besar telah mengeruk keuntungan besar dari perdagangan getah kemenyan. Harga perkilogram saat itu tercatat 70 cent (harga beli) dan 2,22 gulden (harga jual). Pada 1919, pedagang non pri membeli sebanyak 158.891 kilogram kemenyan dari Palembang dengan nilai beli 111.686 gulden. Tapi pada tahun yang sama dijual kembali ke Palembang sebanyak 47.719 kilogram dengan harga jual 105.959 gulden. Toke meraih keuntungan sebesar 72.532 gulden. Namun tak jelas dirinci dalam tulisan itu, apakah pola perdagangan kemenyan bisa seperti itu (antara Palembang ke Tapanuli bolak-balik), setelah melalui proses pengolahan di tempat tertentu.
Tungkot Simanungkalit seorang pemerhati kemenyan di Tarutung mengutip C.Van Keppel yang menulis buku “Landbow Indische Archipel” (1938), yang menggambarkan potensi haminjon di Tapanuli Utara (sebelum pemekaran) yang begitu besar, dan menjadi sumber penghidupan banyak orang Batak. Pusat kultur kemenyan berada di sebelah utara Toba, hamparannya dari Silindung sampai Naipospos, dan di sebelah timur Toba terhampar dari wilayah Habinsaran sampai Sipirok. Total produksi kemenyan Taput pada 1938 tercatat 5080 ton. Data ini diperoleh Lundu Panjaitan ketika berkunjung ke negeri Belanda pada 1992.
Produktivitas kemenyan dari Taput dan kabupaten mekarannya pada kurun waktu 20 tahun terakhir, ditengarai merosot tajam. Di Tapanuli Bagian Utara, kemenyan masih diusahai petani pada 9 kecamatan, yakni Tarutung, Adian Koting, Pahae Julu, Pahae Jae, Purbatua, Sipoholon, Sipahutar, Pangaribuan, Garoga, dan Parmonangan. Di Humbang Hasundutan kebun kemenyan terluas terdapat di Kecamatan Dolok Sanggul, Onan Ganjang, Parlilitan, dan Pakkat, sedangkan di wilayah Toba Samosir adalah kecamatan Habinsaran.
Kondisi pohon kemenyan yang sudah uzur dan produktivitasnya merosot, sejak lama sudah mendapat perhatian pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat. Pada tahun 60-an, terbentuk organisasi yang khusus mengurusi komoditas ini, yakni PERPEKI (Persatuan Pengusaha Kemenyan Indonesia) berpusat di Tarutung dan Dolok Sanggul. Kemudian pada 1978 didirikan asosiasi Perkumpulan Pedagang/Pengusaha Kemenyan Tapanuli Utara (The North Tapanuli Benzoin Traders Ascociation), disingkat BENTRAS. Bahkan almarhum Jenderal (Pur) Maraden Panggabean, mantan Menhankam/Pangab pernah memberi bantuan dana untuk digunakan membantu peremajaan kemenyan di Taput. Tapi penyaluran dana tersebut tak jelas rimbanya. Demikian halnya pada periode bupati Lundu Panjaitan,SH, memberi perhatian khusus untuk mengangkat kembali trade value kemenyan, termasuk penjajakan mata rantai perdagangan kemenyan.
Pada 2002, Djosman DP Nainggolan seorang pemerhati kemenyan menawarkan gagasan baru untuk mendongkrak citra komoditas langka di dunia itu. Gagasan Djosman langsung ditangkap bupati Taput RE Nainggolan, dengan terbentuknya Tim Kerja Pengembangan Komoditi Kemenyan Tapanuli Utara. Unsur pengurusnya mencakup birokrat, tokoh masyarakat, pengusaha, bahkan wartawan. Tetapi apa mau dikata. Nasib tim kerja gagasan Djosman Nainggolan tersebut, setali tiga uang dengan berbagai gagasan sebelumnya. Berbagai gerakan untuk mengangkat kembali marwah haminjon, mandek di tengah jalan, tinggal nama dan arsip proposal.
Waktu terus berjalan, seperti air sungai mengalir menuju muara. Sekian abad juga telah berlalu, dan haminjon di Tano Batak masih eksis. Seperti halnya hidup manusia dan makhluk lainnya, banyak di antara pohon kemenyan yang mati dimakan usia, banyak yang masih bertumbuh namun sudah letih berproduksi karena kondisi uzur. Dan sementara itu, selalu saja ada benih baru kemenyan yang tumbuh di tengah hutan menjadi sebuah proses regenerasi secara alami.
Dalam suatu perbincangan penulis dengan penderes getah kemenyan di Parlilitan, bisa disimpulkan bahwa rasa bangga terhadap komoditas “warisan” alam itu ada. Mereka, para penderes getah kemenyan juga telah mengalami regenerasi beberapa kali. “ Inilah hidup kami, dari moyang turun ke bapak, dan akhirnya kepada kami, dan seterusnya ke anak cucu kami”, kata Pak Marihot Sitohang, penduduk dusun Baringin Pusuk, Parlilitan. Suaranya datar, namun mencerminkan ketegaran. Baginya, seperti juga bagi penderes kemenyan lainnya (mungkin), masalah utama kemenyan sesungguhnya adalah soal harga. Tetapi itu cuma masalah klasik, yang seakan tak perlu lagi diutak-atik. Mereka selalu siap menyambut gembira, manakala mendengar masih ada orang, atau pihak tertentu, yang masih sudi membicarakan kemenyan dan prospeknya. Namun mereka toh tidak tahu, atau memang tidak mau tahu, manakala haminjon kerap digumuli dalam rapat, seminar, diskusi, dan segala macam. Yang perlu perbuatan, bukan ”si Minar”, ujar Sitohang seperti tak sengaja memplesetkan istilah seminar.
Haminjon, riwayatmu dari dulu, kini, dan esok, mungkin akan tetap sama. Bahwa engkau (haminjon), setia memberi kehidupan ribuan atau puluhan ribu jiwa manusia, yang juga masih setia menjaga dan memeliharamu. Dan bukankah, haminjon juga komoditas bernilai sejarah, ketika Yesus dilahirkan di kandang domba di Bethlehem, para parroha sian purba (musafir cerdik pandai dari Timur) datang membawa benda persembahan, dan salah satunya adalah haminjon? (Alkitab, Mateus 2: 11).-
Maka, kondisi runyam itu makin kuat pembenarannya ketika muncul berita di media cetak mengekspos statemen Alimusa Habeahan, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Tapanuli Utara, yang pada intinya menyebut tanaman kemenyan di wilayah ini terancam punah. Pasalnya, pohon kemenyan umumnya sudah uzur, tapi selama ini tak ada peremajaan. Selain harganya yang tak sesuai dengan proses pengolahannya, membuat para petani kemenyan mulai enggan bahkan apatis. Kebanyakan pohon kemenyan yang tumbuh di hutan-hutan wilayah ini merupakan pohon yang tumbuh secara alami, bukan yang ditanami dulunya. Alimusa Habeahan mengakui, sejak lama tanaman kemenyan merupakan komoditi unggulan dengan harga yang lumayan mahal. Tapi beberapa waktu belakangan harga makin merosot tajam, ditengarai akibat permainan para spekulan dan toke penampung di kota. Harga kemenyan saat ini berkisar Rp 150 ribu per kilo, dan itu tak sebanding dengan jerih payah petani yang harus berjuang keras memasuki hutan-hutan lebat melakukan penderesan. Agar seimbang, kata Alimusa, harga kemenyan per kilo harus berada pada kisaran Rp 300 ribu. Dengan begitu petani akan bergairah kembali. Selain itu harus ada program peremajaan oleh pemerintah, karena kebanyakan kemenyan yang ada sekarang sudah makin berkurang produktivitasnya akibat usia tua.
Nah, jika nantinya kemenyan itu betul-betul punah, pastinya masa jaya kemenyan itu bakal tinggal kenangan. Siapa gerangan yang akan berani mengambil insiatif menyelamatkan tanaman dupa ini dari kepunahannya? Sejarahlah nanti yang mencatat.
Sumber : http://ift.tt/UN5EGO